Jumat, 10 Januari 2025

Pengamat Lingkungan: Penanganan Sampah di Batam Tak Ideal

Berita Terkait

spot_img
Tumpukan sampah yang menggunung di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Punggur, Rabu (26/6). F. Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos – Pengamat Lingkungan Kota Batam, Hendrik Hermawan, menilai rendahnya anggaran pengelolaan sampah di Kota Batam menjadi salah satu kendala Dinas Lingkungan Hidup (DLH). Itu makin diperparah oleh rendahnya kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan, sehingga makin menambah persoalan sampah di Kota Industri yang bertetangga dengan negara Singapura dan Malaysia ini.

”Saya melihatnya ada beberapa aspek. Dari sisi anggaran dan juga kesadaran masyarakat itu sendiri,” ujar Hendrik, Rabu (27/6).


Hendrik yang juga Founder NGO Akar Bhumi Indonesia itu menyebutkan, berdasarkan data yang ia miliki hampir 1.200 ton sampah dihasilkan tiap hari. Berbeda dengan hitungan DLH Kota Batam yang mencatat 850-900 ton per hari.

Tingginya tonase sampah ini tidak lepas dari budaya konsumtif masyarakat Batam. Bahkan, 70 persen dari sampah tersebut adalah sampah organik.

”Kalau data kami malahan 1.200 ton sampah per hari. Ini tentu saja menjadi tanggung jawab DLH Batam,” katanya.

Hendrik mencontohkan, sampah di Kota Batam hampir sama dengan produksi sampah di Kota Surabaya yang mencapai 1.500 ton per hari. Hanya saja dari sisi anggaran Batam kalah jauh, dimana anggaran per tahun Surabaya mencapai Rp300 miliar. Sementara Batam hanya Rp70 miliar per tahun.

”Dengan tonase yang hampir sama namun anggaran jauh berbeda ini tentu menjadi dilema. Karena bagaimana pun juga pengelolaan sampahnya itu tak lepas dari sisi anggaran. Makanya kita sering melihat di jalan armada tua dan bahkan melebihi kapasitasnya mengangkut sampah,” ucap Hendrik.

Pemerintah daerah, lanjutnya, mau tak mau harus memikirkan anggaran pengelolaan sampah yang ideal. Sudah seharusnya anggaran dinaikkan sehingga permasalahan sampah di Kota Batam bisa diminimalisir. Selain itu, ia juga melihat gaji untuk honorer dan juga petugas kebersihan saat ini masih minimal dan bahkan jauh lebih rendah dari upah minimum Kota Batam.

”Kami dari Akar Bhumi Indonesia akan mengevaluasi dan membuat analisa membandingkan dengan daerah Surabaya. Karena kasihan, mereka mengangkut sampah namun hanya dibayar Rp3 juta per bulan. Mestinya anggaran Batam lebih besar lagi dari Surabaya. Apalagi kita berhadapan langsung dengan negara tetangga seperti Singa-pura,” ucap Hendrik.

Ia menambahkan, kontribusi kerusakan lingkungan di Batam itu bukan hanya karena penegakan hukum tapi juga karena rendahnya kesadaran masyarakat itu sendiri. Ia menyebutkan, rumah liar menjadi salah satu penumpang sampah besar di Batam. Sampah ini dibuang di pinggir jalan sehingga tak hanya merusak kebersihan kota tetapi juga mengajarkan masyarakat untuk tidak tertib akan kebersihan lingkungannya.

”Sumbangan sampah dari rumah liar itu sangat tinggi, mereka tak hanya melanggar Perda Nomor 2 tahun 2013, akan tetapi juga melanggar Perda no 4 tahun 2026 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup,” tegas Hendrik.

Menurutnya, pemerintah daerah melalui Satpol PP Kota Batam selaku pengawal Perda seharusnya menindak tegas masyarakat yang tidak tertib ini. Namun nyatanya di lapangan masih banyak masyarakat membuang sampah sembarangan dan sampah teronggok di pinggir jalan lingkungan hingga berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan, seperti yang tampak di Jalan Pemuda, Batam Kota, atau di sekitar ruli Kampungair.

”Artinya dari kesadaran masyarakat itu juga sangat penting. Kita bisa lihat di pinggir-pinggir jalan protokol sampah dibuang sembarangan. Diangkut petugas besoknya lagi dikumpul di sana. Yang seperti ini harusnya ditertibkan juga,” tegasnya.

Disinggung mengenai penerapan teknologi untuk mengelola sampah di Batam, Hendrik mengatakan bahwa beberapa waktu lalu DLH Batam dan DLH Provinsi Kepri berkunjung ke Norwegia. Di sana mereka belajar bagaimana mengelola sampah menjadi energi. Hanya saja penerapan di daerah masih sangat lamban.

”Mestinya yang seperti ini sudah harus diadopsi. Karena kalau hanya manual seperti saat ini, berapa sih lahan kita yang tersedia untuk membuang sampah. Tentu ini harus dipikirkan juga sehingga ke depan tak ada masalah,” ucapnya.

Selain dari sisi teknologi, pemilihan sampah anorganik, sampah plastik, sampah elektronik dan sampah B3 juga harus dimaksimalkan. Karena banyak sampah di Batam yang memiliki nilai ekonomis tak harus berakhir di TPA Punggur.

”Dua teknologi ini saya pikir cukup penting, bagaimana kita mengelola sampah menjadi energi dan kedua bagaimana kita memilah sampah tersebut, sehingga ke depan tak semua sampah tersebut masuk ke TPA Punggur,” tukas Hendrik.

Di lain pihak, Ketua Komisi III DPRD Batam Djoko Mulyo-no mengatakan, sudah seharusnya Pemko Batam memiliki sistem pengolahan sampah yang memakai teknologi modern guna keseimbangan TPA Punggur. Menurutnya, beberapa waktu lalu sudah ada beberapa investor yang akan menanamkan modal untuk pengelolaan TPA Punggur. Hanya saja mereka menawarkan biaya (cost) yang sangat tinggi sehingga membebani APBD.

”Ada juga investor yang sudah datang ke DPRD, namun karena biaya pengelolan sampai ke TPA Punggur sangat tinggi dan cukup membebani APBD kita. Makanya kita berharap ada solusi jangka panjang, teknologi pengolahan sampah modern namun tidak menguras APBD kita,” kata Djoko.

Ia mencontohkan ketika saat melakukan kunjungan kerja ke TPA Manggar, Kalimantan Timur. TPA ini tidak hanya dimanfaatkan untuk menghasilkan gas metana, namun juga memasok biomassa untuk co-firing PLTU Teluk Balikpapan.

Penumpukan sampah yang digunakan TPA Manggar dengan memanfaatkan tumpukan sampah yang menghasilkan gas metan tersebut menjadi energi baru terbarukan. ”Di Manggar sampah bisa dimaksimalkan dengan menjadi disel. Cuma memang butuh anggaran untuk instalasi. Selain itu biayanya juga tak terlalu besar dibanding dengan teknologi yang lain dan bisa diterapkan di Batam,” ujar Djoko.

Ia menyebutkan, dengan menggunakan teknologi canggih yang dapat mengubah fungsi atau memusnahkan sampah. Sehingga, tumpukan sampah tidak menggunung. ”Ke depan mau tidak mau kita harus menerapkan teknologi pengolahan sampah yang modern ini,” ucap Djoko.

Kabid Pengelolaan Persampahan DLH Kota Batam Eka Suryanto mengatakan, setiap harinya ada sekitar 300-an lori sampah yang masuk ke TPA Punggur dengan tonase rata-rata mencapai 850-900 ton.

”Makanya dibagi dua zona. Hanya saja zona baru dari KLHK ini belum maksimal karena hanya sekitar 1 hektare,” kata Eka.

Ia menyebutkan, ratusan ton sampah yang masuk ke TPA ini tentu saja akan memperpendek usia TPA. Diprediksi 6 tahun ke depan, TPA tidak akan mampu lagi menampung sampah di Batam. Untuk itu pemerintah kota Batam terus menggaungkan pemilahan sampah rumah tangga. Pemilahan sampah menjadi salah satu fokus utama DLH Batam untuk mengurangi sampah yang diangkut ke TPA Pembuangan Akhir (TPA) Punggur.

”Pengelolaan sampah dari sumbernya, ini solusi kita. Sebab, untuk TPA belum ada rencana penambahan dan malahan sekarang informasinya 2030 nanti tak ada lagi pembangunan TPA. Jadi kita dituntut di 2025 melakukan pemilahan sampah sampai 30 persen dan penanganan 70 persen,” ucap Eka.

Sampah yang dipilah adalah sampah anorganik semisal limbah botol plastik, kardus, plastik pembungkus makanan, dan sebagainya. Pemilahan sampah penting dilakukan agar dapat meningkatkan jumlah sampah yang didaur ulang. Sehingga, mengurangi jumlah sampah yang berakhir di TPA Punggur dan sekaligus memperpanjang usia dari TPA tersebut.

Terkait rencana incenerator yang digadang akan menjadi solusi permasalahan sampah, Eka menjawab, biayanya cukup besar. Selain itu, incenerator saat ini juga sudah tak dianjurkan lagi, karena akan memperburuk kualitas udara. (*)

Reporter : Rengga Yuliandra – Azis Maulana

 

spot_img

Update