batampos – Mulai 1 Agustus 2024, pengelola Pelabuhan Internasional Batam Center beralih dari PT Synergy Tharada ke PT Metro Nusantara Bahari. Namun, proses transisi tidak berjalan mulus. Banyak pihak khawatir pelayanan penumpang terganggu.
SETELAH 22 tahun mengelola Pelabuhan Feri Internasional Batam Center, PT Synergy Tharada harus meninggalkan pelabuhan terpadat di Kepri itu. Badan Pengusahaan Batam sebagai otoritas pelabuhan di Batam telah memutuskan PT Metro Nusantara Bahari sebagai pengelola baru.
Hanya saja, sampai penghujung Juli, belum ada komunikasi sama sekali antara pengelola lama dengan calon pengelola baru. General Manager PT Synergy Tharada, Nika Astaga, mengatakan, sampai Jumat (26/7) pihaknya belum diajak berkomunikasi oleh Badan Pe-ngusahaan (BP) Batam.
“Sampai hari ini (26/7) kami tidak diberi tahu atau diajak berkomunikasi apapun. Padahal kontrak kerja sama berakhir 1 Agustus,” ujar Nika saat dihubungi.
Menurut Nika, PT Synergy Tharada kecewa dengan situasi ini. Ia menuturkan, pada tahun 2001 lalu, Kepala BP Batam Ismeth Abdullah meminta Direktur Utama PT Synergy, Soni, untuk mengelola pelabuhan yang saat itu dalam kondisi terbengkalai dan tak terawat.
“Sebenarnya kami ikhlas jika jelang masa kerja sama ini berakhir dibicarakan dengan duduk baik-baik. Seperti awal Pak Soni Direktur Utama diminta baik-baik mengelola bangunan pelabuhan yang terbengkalai ini,” jelas Nika.
Rendy dari Divisi Legal PT Synergy Tharada mengatakan, seharusnya BP Batam sebagai pihak yang meminta PT Synergy mengelola pelabuhan memberi tahu dan mengkomunikasikan masalah kerja sama ini dua tahun sebelum berakhir, sehingga PT Synergy bisa membagikan informasi terkait kondisi dan segala hal menyangkut pelabuhan.
“Ini kan tidak, bulan April 2024 kemarin, BP Batam membuka lelang. Dan itu tak diinformasikan sama sekali pada kami. Kami malah tahunya dari media,” jelas Rendy.
Setelah hasil lelang ditetapkan, juga tidak ada komunikasi dari pemenang lelang. ”Sampai sekarang, pengelola yang baru belum ada komunikasi dengan kami. Padahal ada banyak hal yang harus dibahas, termasuk aset, kar-yawan, dan operasional pelayaran,” jelasnya.
Nika Astaga menambahkan, sejauh ini belum ada pembahasan apa pun menghadapi transisi pengelolaan. Termasuk mekanisme penyerahan aset.
“Sampai saat ini belum ada. Kami juga belum tahu seperti apa nanti pengelolaan ke depannya. Karena ini pelabuhan internasional, wajahnya Indonesia. Jangan sampai tutup operasional karena ada kelalaian ini. Karena ini adalah hubungan bilateral, dan ada aturan internasional di situ,” ungkapnya.
Ia berharap hubungan yang hendak berakhir ini, bisa berjalan seperti di awal dulu kerja sama dimulai.
“Ada yang dibahas, begitu caranya. Karena yang tahu soal pelabuhan ini kan kami (pengelola, red). Sebagai pe-ngelola kami juga tidak pernah dilibatkan. Padahal yang tahu kondisi asli pelabuhan ini adalah kami,” bebernya.
Selain persoalan aset, juga ada soal hak dan tanggung jawab yang harus diperhatikan, ada karyawan juga. Hal terpenting adalah menjamin keberlangsungan lalu lintas di laut yang melibatkan hubungan internasional.
Untuk mengelola pelabuhan internasional ini harus mengantongi ISPS Code atau internasional ship and port security code.
Ia menekankan pentingnya transisi yang mulus, terutama terkait standar keamanan internasional. Tanpa izin ISPS Code, dikhawatiran terganggunya lalu lintas pelayaran internasional.
“Pengelola yang baru harus punya ini. Kalau tidak maka itu ilegal. Apakah diperboleh-kan pengelola pelabuhan mengelola tanpa mengantongi ISPS Code,” imbuhnya.
Masa transisi seharusnya aktivitas di pelabuhan ini tetap berjalan seperti biasa. Karena pelabuhan ini adalah wajahnya Indonesia. Jangan sampai ketidakjelasan mencoreng apa yang sudah dijaga dengan baik.
“Transisi ini harus dijalankan dengan baik, terlepas dari proses lelang tender yang sudah selesai ini. Karena sejak awal kami tidak pernah dilibatkan. Untuk ikut lelang juga tidak bisa, karena begitu di syarat lelangnya. Makanya proses tender itu harusnya dimulai dua tahun sebelum berakhirnya kerja sama. Agar masa transisi dan pemenuhan syarat pengelolaan bisa terpenuhi,” ujarnya.
Nika mengungkit soal proses lelang yang menurut dia janggal. Terkesan asal-asalan atau hanya sekadar formalitas.
Ia mengaku PT Synergy Tharada tak diinformasikan sama sekali. Apalagi dengan salah satu syarat yang mengharuskan pengelola pelabuhan baru memiliki anak perusahaan real estate yang punya saham 99 persen. Serta nilai investasi untuk pelabuhan senilai Rp3,4 triliun.
Namun pada kenyataannya, BP Batam mengumumkan nama PT Nusa Bahari sebagai pemenang lelang, karena mau berinvestasi Rp81,24 miliar, dengan kontribusi Rp11 miliar.
“Nilai investasi awal untuk pengembangan Pelabuhan Batam Center dalam lelang Rp3,4 triliun. Tapi sekarang pemenang lelang Rp81 miliar. Jadi, ada apa sebenarnya dalam proses lelang ini. Kenapa berubah-ubah,” ujar Nika.
Direktur Badan Usaha Pelabuhan BP Batam, Dendi Gustinandar, mengatakan bahwa lelang pengelola pelabuhan sudah dimulai sejak 29 April lalu. BP Batam telah mengumumkan PT Metro Nusantara Bahari sebagai pemenang lelang pengelolaan Pelabuhan Feri Internasional Batam Center.
Pengumuman itu tercantum dalam surat hasil lelang pemilihan kerja sama Pelabuhan Feri Internasional Batam Center Nomor 22/PP.PBC/7/2024. PT Metro Nusantara Bahari menawarkan nilai investasi Rp81,24 miliar, dengan kontribusi sebesar Rp11 miliar dan kontrak hingga 25 tahun.
”Perjanjian kerja sama sudah berlaku di tanggal 1 Agustus 2024,” kata Direktur BUP BP Batam, Dendi Gustinandar, Jumat (26/7).
BP Batam menginformasikan juga bahwa PT Metro Nusantara Bahari berkomitmen untuk berbagi keuntungan dengan otorita dari berbagai area operasional pelabuhan, termasuk area hijau, area oranye seperti, pendapatan penumpang, parkir, dan sewa/retail.
Kepala Ombudsman RI Perwakilan Kepulauan Riau (Kep-ri), Lagat Parroha Patar Siadari, mengatakan proses lelang meliputi dua aspek. Pertama operasional, dan kedua pe-ngembangan. Sepengetahuan Lagat, proses tender dilakukan secara transparan, bahkan perusahaan sebelumnya pun mengikuti lelang.
”Setahu saya, pengelola sebelumnya itu ikut lelang tapi tidak mengajukan penawaran. Saya tidak tahu apakah ada hubungan atau komunikasi yang tidak lancar antara BP Batam dengan PT Synergy Tharada,” katanya, Senin (29/7).
Transisi dari PT Synergy Tharada ke PT Metro Nusantara Bahari menjadi konsen Ombudsman. Pihaknya tidak ingin peralihan terjadi seperti PT ATB ke PT Moya dalam pengelolaan air bersih.
Sistem pengelolaan air minum di Batam menjadi padanan bagi Lagat karena tak berjalan dengan baik. Hal yang sama juga ia ingatkan karena Pelabuhan Internasional Batam Center itu adalah pelabuhan internasional tersibuk, serta jadi pintu masuk terbesar Indonesia ke negara luar.
”Karena ini gerbang masuk Indonesian dengan luar negeri, kami ingatkan jangan terjadi persoalan pada transisinya. Persiapan sudah dilaksanakan. Penandatanganan kontrak dengan perusahaan pemenang lelang akan dilak-sanakan dalam satu atau dua hari ke depan, itu informasinya yang saya dapat,” ujar Lagat.
Menurutnya, koordinasi dan konsolidasi antara ketiganya, baik PT Synergy Tharada, BP Batam, dan PT Metro Nusantara Bahari, diharapkan berjalan dengan baik. PT Synergy Tharada diminta berbesar hati untuk melepas itu.
”PT Synergy Tharada juga harus kooperatif menyerahkan itu. Kalau PT Sinergy Tharada tidak ikut serta memastikan transisi itu berjalan dengan baik dan menjadi crowded pelayanan di sana, ini juga bisa menjadi masalah hukum nanti,” kata Lagat.
PT Synergy Tharada tidak punya pilihan lagi, sebab per tanggal 1 Agustus mereka berakhir. Maka di tanggal 2 Agustus itu sudah bukan mereka lagi pengelolanya.
Anggota DPRD Batam, Muhammad Fadli, menyampaikan agar pengelola Pelabuhan Internasional Batam Center berkomitmen meningkatkan layanan dari segala aspek.
Secara kelembagaan merupakan wewenang dari pemerintah pusat dalam hal ini BP Batam dan tentunya pengawasan berada di Komisi VI DPR RI.
“Bagaimana pun karena berada di Kota Batam tentu kami sangat konsen dan meminta perlunya peningkatan layanan di pelabuhan tersebut,” kata dia, Selasa (30/7).
Fadli menyampaikan melihat kasus transisi pada penge-lola air di Batam dari PT ATB yang sudah sekian tahun ke Moya dari progres laporan layanan ke masyarakat malah cenderung menurun dan mengecewakan.
“Maka kami berharap hal tersebut tidak terjadi pada transisi pengelolaan Pelabuhan Batam Center dalam hal ini BP Batam yang bertanggung jawab,”ujarnya.
Diharapkan kepada penge-lola Pelabuhan Batam Center untuk profesional menjalankan operasional di pelabuhan tersebut. Sebab jika menurun tentu menjadi perhatian masyarakat untuk menyuarakan keluhannya.
“Masyarakat Batam memiliki hak untuk menilai sebagai contoh melihat pengelolaan air di Batam selama ini dan merasa khawatir apabila nantinya terjadi juga di Pelabuhan Batam Center,” kata dia. (*)