batampos – Maraknya kasus kekerasan terhadap anak menyita perhatian. Kekerasan terhadap anak muncul tidak saja dilakukan oleh orang lain, namun dari keluarga terdekat, yang seharusnya menjadi pelindung anak- anak.
Menurut aktivitis Ketahanan Rumah Tangga, Suryani, penyebab terjadinya kekerasan pada anak di antaranya, pengetahuan orangtua, pengalaman masa kecil orangtua, pengaruh alkohol atau obat-obatan, masalah ekonomi, hingga tidak ada dukungan dari pasangan atau lingkungan.
Selama menjalani profesi sebagai aktivitas kasus yang paling banyak dijumpai adalah kekerasan, fisik, psikis (ucapan), seksual, ditelantarkan, dan eksploitasi anak.
Anak yang menjadi korban kekerasan mendapatkan trauma yang luar biasa. Usia mereka yang masih sangat muda, sehingga menjadikan mental mereka cenderung terganggu. Kemudian bersikap skeptis terhadap orang di sekitarnya.
“Kalau yang mereka terima kekerasan fisik biasanya cenderung menjadi menjadi nakal, dan melakukan hal serupa misal terhadap saudaranya atau temannya. Namun kalau itu kekerasan seksual biasanya anak jadi minder/rendah diri, dan menjadi penyendiri,” ujarnya, Senin (25/9).
Baca Juga:Â Pelaku Kasus Kekerasan Anak Kebanyakan Orang Terdekat Korban
Menurut Suryani peran keluarga harus menjadi benteng perlindungan anak. Keluarga adalah rumah bagi anak. Segala sesuatu mulai dari karakter, sikap, dan sifat anak berawal dari perlakuan keluarga di rumah.
Anak harus merasa nyaman ketika mereka berada di rumah. Orangtua berperan untuk mendidik anak. Namun nyatanya kekerasan pada anak masih tinggi.
“Hubungan anak dan orangtua, serta anggota keluarga lainnya harus harmonis. Sehingga saling menjaga, bukan malah menjadi pelaku kekerasan terhadap anak. Sangat disayangkan memang, apalagi ada keluarga yang kadang bersikap acuh menanggapi anggota keluarga yang menjadi korban kekerasan,” bebernya.
Mantan anggota DPRD Kepri ini menilai penting sekali kerja sama berbagai pihak. Mulai dari pemerintah, sekolah, orangtua, dan lingkungan masyarakat.
Perlu ada tindakan yang menimbulkan kesadaran akan rasa memiliki di lingkungan keluarga. Peran lingkungan juga penting dalam mencegah kekerasan pada anak.
“Kalau anak murung, dan menunjukkan perilaku aneh, seharusnya anggota keluarga lebih memperhatikan. Hal ini juga bisa dilakukan tetangga, agar bisa cepat ditangani,” paparnya.
Pemerintah juga bisa memasifkan tim- tim pencegahan kekerasan terhadap anak mulai dari lingkungan RT/RW, Majelis taklim, PKK, dan lainnya. Penyebaran informasi dan sosialisasi soal kekerasan pada anak harus meluas.
Baca Juga:Â Tim Terpadu Bongkar Paksa Bangunan Liar di Depan Perumahan Puskopkar Batuaji
Sehingga semuanya memiliki peran untuk mencegah, melaporkan, dan turut melindungi korban kekerasan anak.
Pola asuh juga menjadi tantangan bagi orangtua dalam membesarkan anak. Orangtua harus mengetahui, dan paham pola asuh anak di usia balita. Peran ibu paling penting dalam hal ini.
“Mencegah lebih baik tentunya. Untuk urusan anak perempuan mungkin lebih ke ibu, begitu juga sebaliknya. Sehingga anak sudah bisa mengenali bagian tubuh, dan menjaganya. Berikan juga didikan dasar, agar anak bisa mengetahui bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain,” terang Suryani.
Untuk itu, hal- hal seperti pelecehan atau kekerasan pada anak bisa dihindari. Kendati demikian, untuk mengontrol agar kekerasan tidak terjadi memang sulit. Makanya diperkuat dari pengetahuan terkait kekerasan pada anak ini.
Lanjutnya, kekerasan terhadap anak jangan dianggap sepele. Ini lebih penting dari membangun infrastruktur. Anak adalah aset bangsa. Sehingga perhatian bukan hanya solusi jangka pendek tetapi harus ada rencana aksi jangka pendek dan panjang, dan penanganan yang berkesinambungan.
Suryani menambahkan selama ini belum terintegrasi antara pemerintah, dan pihak terkait menjadi salah satu lambatnya penanganan terhadap kasus kekerasan pada anak.
Baca Juga:Â Sepenggal Penyesalan Saksi Mata Tenggelamnya Mahasiswa Politeknik Negeri Batam
Pemerintah dan pihak terkait harus duduk bersama, melakukan identifikasi masalah, pendelegasian tugas yang jelas, serta evaluasi berkala.
“Ingat masalah penanganan anak bukan masalah satu dinas atau lembaga yang konsen terhadap anak tapi masalah kita bersama,” ucapnya.
Peran organisasi atau aktivis dalam hal ini adalah membangun kerja sama dengan pemerintah. Mendukung program- program pencegahan kekerasan terhadap anak, sinergi lintas lembaga, hingga membangun visi dan misi untuk melakukan aksi bersama.
“Kami aktivis sudah pasti menyampaikan hasil temuan di lapangan. Selanjutnya, pemerintah yang akan menindaklanjuti. Jika diperlukan dalam merumuskan, dan mencari solusi, tentu kami siap saja,” tutupnya. (*)
Reporter: YULITAVIA