batampos – Balai Pelayanan Pelindungan PMI (BP3MI) Kepulauan Riau bersama aparat penegak hukum terus berupaya memutus mata rantai sindikat Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) di wilayah Kepri. Upaya yang dilakukan ialah UU Imigrasi melalui proses identifikasi dan profiling kepada Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang berangkat keluar ataupun pulang kembali masuk ke Indonesia tanpa melalui proses pemeriksaan Imigrasi yang berpotensi menjadi pelaku pengiriman PMI Ilegal
“19 tersangka disini 9 nya adalah perempuan artinya ada pergeseran motif dan modusnya, maka kami menekankan bagi warga yang mencoba memfasilitasi keberangkatan PMI secara non prosedural tolong dipikirkan kembali, karena tidak ada istilah menolong sebab ada ancaman hukumannya, ” ujar Kepala BP3MI Kepri, Kombes Pol Amingga, saat dijumpai di Polresta Barelang, Selasa (27/6).
Amingga menyampaikan upaya pencegahan juga dilakukan bersama Imigrasi untuk menerapkan UU Imigrasi terhadap PMI yang berangkat keluar ataupun pulang kembali masuk ke Indonesia tanpa melalui proses pemeriksaan Imigrasi.
“Diatur dalam UU 6 tahun 2011 pada pasal 113 dan 120 tentang Keimigrasian Jadi mereka yang pulang kembali ke Indonesia tanpa proses pemeriksaan Imigrasi jangan merasa selama ini selalu dijadikan korban tapi akan bisa saja menjadi pelaku,” ujarnya.
Usai pemeriksaan dari Satreskrim Polresta Barelang , BP3MI memilah setiap korban PMI mana saja yang sudah berangkat namun di blacklist ataupun dipulangkan sehingga tidak bisa berangkat kembali.
“Jika diketahui ada PMI yang baru berangkat, memang kami tawarkan kepada Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) untuk diproses. Namun jika bukan warga Kepri maka perlu bantuan Dinas Tenaga Kerja dari daerah asal PMI untuk penerbitan Id dan persyaratan yang dipenuhi untuk diproses kembali,”terangnya.
Hal ini lanjutnya, peran BP3MI Kepri tidak serta merta para korban PMI ini dikembalikan ke daerah asal.
“Sebab kita temukan pada 22 Mei lalu ada satu orang PMI yang dideportasi dari Malaysia melalui Tanjung Pinang kemudian pada 8 Juni ditangkap kembali oleh Ditpolariud Barhakam Polri,” ujarnya.
Amingga menilai perlunya peran dari Pemerintah setempat untuk melakukan sosialisasi dan edulasi kepada korban dan calon PMI.
“Artinya harus ada solusi Pemerintah Daerah tidak boleh hanya berpangku tangan, sebab aparat penegak hukum akan berhadapan dengan masalah yang sama maka perlu ada peran Pemerintah yang regulasinya diatur oleh mereka ,” ujarnya.
Kepala Imigrasi Kelas I TPI Khusus Batam, Subki Miuldi menyampaikan salah satu upaya pemerintah dalam memutus mata rantai TPPO, juga dilakukan dalam proses pembuatan paspor sebagai bentuk layanan Keimigrasian.
Dimana sepanjang tahun 2023, pihaknya telah menolak 5.400 aplikasi pembuatan paspor, yang dicurigai akan disalahgunakan.
“Sampai bulan ini sudah ada 5.400 permohonan paspor yang kita tolak. Dari profiling yang kita lakukan, kita curiga pemegang paspor berpotensi menyalahgunakan izin tinggalnya,” paparnya.
Penolakan permohonan paspor ini, dikatakan mengalami peningkatan apabila dibandingkan dengan tahun 2022. Dimana pihak Imigrasi Batam menyatakan menolak 4.300 permohonan.
“Saat ini ketat sekali, ada profiling yang dilakukan petugas kami terhadap para pemohon. Untuk ini kami tidak bisa menjelaskan secara rinci,” tuturnya.
Untuk profiling yang dilakukan oleh petugas Imigrasi, tidak hanya berlaku bagi pemohon yang datang saat pembuatan paspor. Namun juga dilakukan saat pemeriksaan keberangkatan calon penumpang luar negeri.
“Untuk pintu masuk juga kami berlakukan profiling. Apabila dicurigai maka akan dilakukan wawancara terlebih dahulu,” ujarnya. (*)
Reporter ; Azis Maulana