Jumat, 4 Oktober 2024

Rela jadi Pemandu Lagu Demi Bertemu Anak di Batam

Berita Terkait

spot_img
ilustrasi pemandu lagu
ilustrasi

“Aku ke sini (Batam) sebenarnya mau nyari anakku.”

Seketika nada bicaranya lirih. Matanya berkaca-kaca, tapi tak kunjung mengeluarkan air mata. Wanita ini sepertinya cukup tegar mengarungi hidup yang terpaksa ia cecap. Obrolan kami akhirnya tuntas, setelah dua hari sebelumnya sempat bertemu singkat di kawasan Kampung Bule, Nagoya, Batam.

Reporter: Arjuna

AWALNYA, Selasa (25/6) malam, saya ditugaskan membuat tulisan soal kehidupan malam Batam di Kampung Bule. Ada beberapa kendala di lapangan, sampai akhirnya tak memungkinkan dilakukan.

Kemudian, kami bertemu secara tak sengaja di salah satu warung makan, sekitar pukul 20.30 WIB. Dia bersama seorang rekan kerjanya.

“Kosong, Bang? Kami numpang di sini ya?” Begitu permintaannya untuk duduk dalam satu meja. Kala itu memang warung makan tersebut lagi ramai, penuh.

Dia terus aktif mengobrol dengan rekannya itu. Sepintas, terdengar pembicaraan yang mengarah jika ia tak betah lagi bekerja. Saya mencoba berinteraksi dengan mereka, sampai pada permintaan bertukar nomor WhatsApp diiyakan olehnya.

Di WhatsApp, wanita ini sering kali, bahkan setiap hari, mengunggah status foto balita dengan caption ungkapan rasa kasih dan rindu. Kemudian, pascamalam yang singkat kemarin, kami janjian untuk bertemu. Ada hal menarik dari kehidupan pribadi dia yang sepertinya perlu untuk diketahui.

Awalnya, wanita 26 tahun itu sempat menolak ajakan bertemu, namun kemudian akhirnya mau. Pertemuan kami berlangsung di salah satu kafe di pusat Kota Batam, pada Jumat (27/6) sore. Dia datang mengenakan dress dengan outer denim, handbag, serta sepatu kets. Terlihat cocok dengan tinggi badannya sekitaran 165 sentimeter.

Di situ, di kafe itu, kami nongkrong sembari berbicara santai dan panjang lebar soal kehidupan, dengan menikmati iced latte dan makanan ringan. Tak sadar, langit pun makin temaram. Tambah lagi lagu yang diputar barista, “La Vie en Rose”, menambah syahdu suasana.

Gwen, itu nama yang diberi untuknya sebagai pemandu lagu atau lady companion (LC) di salah satu tempat karaoke di distrik Nagoya. Sudah 17 bulan dia di sini, sampai merasa nyaman dengan gemerlap Batam.

“Udah 13 kali nerima gaji kerja di situ (sambil menyebut nama tempat ia bekerja). Berarti setahunan lebih di sini. Iya, enggak, sih? Kalau di Batam hampir mau dua tahun malah,” katanya.

Perawakan nona ini lucu nan manis. Rambutnya terurai panjang bergelombang melewati bahu. Jika mengira seorang wanita penghibur tak lepas dari pakaian seksi, maka Gwen beda. Ia berusaha menutupi tubuh, walaupun tetap terlihat anggun.

“Dingin kalau pakai pakaian seksi. Tau lah, kan, AC di situ (ruangan karaoke) kayak gimana. Lagipun emang enggak nyaman aja pakai baju yang rada kebuka,” katanya, tersenyum.

Lika-liku jadi pemandu lagu rumit baginya. Tak sedikit lelaki hidung belang berusaha merayu. Ajakan atau tawaran ‘aneh’ selalu ia dapat. Bahkan tak ayal perlakuan tamu yang semena-mena padanya.

Meski begitu, Gwen sadar dengan apa yang dia alami tak lepas dari profesinya saat ini. Mau berontak, tak mungkin. Marah pun, juga tak dibolehkan. “Harus hormati tamu,” katanya.

“Aku sebenarnya muak, pengen banget kerjaan lain. Tapi di sini (Batam), kan, susah. Harus ada orang dalam gitu. Pengen banget kerja kayak orang-orang yang di perusahaan. Kalau orang tuaku masih hidup, entah gimana perasaan mereka liat anaknya kayak gini,” ujar dia.

Gwen adalah anak ketujuh dari delapan bersaudara. Di usia 13 tahun, ibunya meninggal. Lalu di umur menginjak 15 tahun, ayahnya tutup usia.

Setelah sekitar satu setengah jam berselang, suara Gwen makin lirih. Cerita pun dimulai!

Ia seorang pendatang dari Pulau Jawa, tepatnya Kota Surabaya. Tiba di Batam pada tahun 2022. Niatnya bukan seperti kebanyakan orang-orang–bekerja, melainkan ingin mencari sang anak tercinta.

Datang ke Batam hanya berbekal uang Rp1,5 juta, dikira sepan untuk hidup berbulan-bulan. Akan tetapi, ia sadar bahwa duit segitu tak akan cukup memenuhi kebutuhan harian lanjutan. Lalu, Gwen bertemu teman lamanya, yang memang bekerja di tempat hiburan malam.

Bersama temannya itu, dia menumpang hidup. Dicarikan beberapa pekerjaan untuk dia, mulai dari tukang cuci di tempat laundry, pelayan di foodcourt, sampai kini jadi LC.

“Ngekos cuma sebulan. Abis itu baru ketemu teman satu sekolah SMP di Surabaya, numpang sama dia. Ya, emang enggak cukup segitu (penghasilan kerja di laundry), cuma sejutaan per bulan. Di foodcourt agak mending, di situ mulai terbiasa dengan dunia malam. Karena tertarik sama kerjaan temenku itu, uangnya banyak, makanya aku mau (jadi LC),” ujarnya.

Gwen berkisah kehidupan pribadinya yang tak ramai orang tau. Dia sempat menikah pada 2019 silam, dan dikaruniai seorang anak perempuan. Sebab faktor perekonomian dan beberapa alasan lain, ia memilih berpisah dengan suaminya.

“Dia (mantan suaminya) aslinya orang Baubau, cuma lama kerja di Surabaya. Hubungan kami dulu memang sejak awal nikah enggak harmonis, sering berantem. Pas pisah, anakku dibawa sama dia. Ini dia (menujukkan foto anak perempuannya itu),” kata dia.

Tahun 2021, mereka secara sah telah berpisah. Sekitar empat bulan berselang, komunikasi keduanya putus. Sejak saat itu, keberadaan mantan suami dan anaknya tak terlacak, bahkan sampai sekarang.

Gwen juga berusaha mengontak keluarga pria tersebut, tetapi takada respons sama sekali. Beberapa diantaranya bahkan memblokir nomor dan media sosial miliknya. Gwen sebenarnya sudah putus asa, namun demi bertemu sang buah hati, ia rela melakukan apa saja.

Informasi soal keberadaan anaknya pun berseliweran. Ada yang bilang posisinya di Baubau, Medan, Pekanbaru, bahkan Malaysia. Terakhir, ia mendapati foto anak gadisnya berada di kawasan Ocarina, Bengkong, Batam.

“Foto itu di Facebook salah satu saudaranya (keluarga mantan suami). Fotonya pas lagi di tulisan (landmark) Ocarina itu, anakku lagi di gendong sama saudaranya. Kan, itu adanya di Batam. Makanya aku sampai ke sini. Panjang banget ceritanya kalau mau diceritain semua,” kata Gwen.

Upaya pencarian pun terus dilakukan. Keluarga mantan suaminya itu seolah tak mau mempertemukan dia dengan anaknya. Kembali, sosial media Gwen di blokir oleh orang yang memposting foto tersebut.

“Kejam, kan? Aku ini ibunya, loh. Itu darah daging aku. Perasaan aku enggak ada buat salah ke mereka. Paling masalah itu cuma sama dia (mantan suami). Pas di-chat di Facebook, langsung diblok,” ujarnya.

Sambil bercerita, matanya semakin berkaca. Dia tak sanggup menahan kesedihan, sampai menitikkan air mata. Gwen semakin sendu. Anehnya, dia masih bisa tersenyum. Bayangkan!

Ia berpisah saat anaknya baru berusia hitungan bulan. Diperlihatkan beberapa potret imut anaknya yang awet di gawai, bahkan disimpan dalam folder khusus bertuliskan “Cintanya Mama”. Di dalam berkas, ada 44 gambar anak perempuannya itu.

Ia berangan, ingin bertemu anaknya meski tak dapat dibawa pulang. Lima menit pun baginya sudah cukup, asalkan bisa berjumpa.

“Aku enggak pernah musuhi mereka (keluarga mantan suami). Aku cuma pengen ketemu anakku. Aku ke sini (Batam) sebenarnya mau nyari anakku, loh, bukan yang lain. Aku mau tidur pun kadang susahnya minta ampun, selalu nangis pas subuh abis pulang kerja merenungi nasib, kangen anak juga,” ujarnya, sambil menangis pelan.

Kasih Gwen terhadap putri tercinta memanglah tak terhingga. Memang susah mendeskripsikan seberapa besar kasih sayang seorang ibu terhadap anak. Tapi mungkin, cerita dan tindakan Gwen jadi salah satu padanan.

Doa Gwen ke anaknya sederhana, seperti kebanyakan orang tua pada umumnya. Maukan sang buah hati tumbuh sehat, pintar, dan berkelakuan baik.

“Aku tetap di sini. Kalau pun aku pulang kampung, itu artinya udah nyerah. Paling permohonan terakhir itu, saat anakku sudah besar dia mencari aku, ibu kandungnya,” katanya. (*)

spot_img

Update