batampos – Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menangkap dua kapal berbendera Malaysia di perairan Batam. Kapal tersebut diduga melakukan aktivitas penye-dotan pasir laut ilegal.
Dua kapal yang ditangkap adalah Zhou Shun 9 dan Yang Cheng 6. Selain kapal, petugas juga mengamankan 29 anak buah kapal (ABK), yang terdiri dari dua WNI dan 27 WN Tiongkok.
Direktur Jenderal PSDKP KKP, Pung Nugroho Saksono, mengatakan bahwa dua kapal tersebut ditangkap pada Rabu (9/10) lalu. Saat itu, pihaknya bersama Menteri Kelautan dan Perikanan berpapasan dengan kapal.
“Kapal ini terindikasi menyedot pasir laut dan kami sudah lama memantau kapal ini. Hasil pelacakan kami menunjukkan kapal ini berada di perbatasan dan kadang-kadang masuk ke perairan kita (perairan Batam),” ujarnya setelah meninjau kapal.
Ia menjelaskan bahwa dari pemeriksaan terhadap kapal, tidak ditemukan dokumen resmi. Kapal tersebut mengangkut 10 ribu meter kubik pasir per kapal dan rencananya akan dibawa ke Singapura.
“Kapal ini tidak memiliki dokumen. Yang ada hanya dokumen nakhoda. Seharusnya kapal ini memiliki dokumen, seperti kendaraan yang harus memiliki STNK,” katanya.
Dari keterangan nakhoda, penyedotan pasir tersebut dilakukan selama 9 jam setiap harinya. Mereka memasuki perairan Batam dengan intensitas mencapai 10 kali per bulan.
“Bisa dibayangkan berapa lama kapal ini beroperasi, dan berapa banyak kapal seperti ini,” ungkap pria yang akrab disapa Ipunk ini.
Ipunk menambahkan bahwa pihaknya masih melakukan penyelidikan terhadap tangkapan ini. Namun, ia memastikan bahwa KKP akan hadir untuk menertibkan serta menindak pelanggaran-pelanggaran seperti yang dilakukan oleh dua kapal tersebut.
“Saat ini kami menerapkan asas praduga tak bersalah. Namun, kami sudah memiliki beberapa alat bukti, dan kami akan mengembangkan sejauh mana tingkat pelanggarannya,” ungkapnya.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan, Victor Gustaaf Manoppo, mengatakan bahwa kapal tersebut memang berfungsi untuk menyedot pasir di tengah laut. “Sampai saat ini, sesuai PP 26, belum ada satu pun izin yang kami keluarkan. Secara regulasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan belum mengeluarkan izin untuk operasional kegiatan ini,” katanya.
Menurutnya, aktivitas ilegal dari dua kapal tersebut menyebabkan kerugian negara mencapai Rp223 miliar per tahun. “Ini baru kerugian dari sumber daya kelautan yang dilakukan oleh kapal ini saja,” tutupnya.
Joni, salah seorang ABK, mengaku bahwa ia bersama rekan-rekannya memang melakukan penyedotan pasir di tengah laut. Namun, aktivitas tersebut dilakukan di perairan Muar, Malaysia.
“Sudah lima bulan bekerja. Kami mengambil pasir di Muar,” ujar pria asal Medan, Sumatra Utara ini.
Ia menjelaskan bahwa setelah menyedot pasir, kapal tersebut selalu melalui perairan Batam dengan tujuan Singapura. “Kami melewati ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia). Untuk gaji, saya mendapatkan 6 ribu ringgit per bulan,” tutupnya. (*)
Reporter: Yofi Yuhendri