batampos – Nilai tukar dolar Singapura terus menguat melawan Rupiah dalam beberapa hari belakangan ini. Pada perdagangan Minggu (23/10) kemarin, nilai tukar dolar Singapura atas rupiah tercatat Rp 10.978,03.
Kepala Tim Implementasi KEKDA Bank Indonesia perwakilan Provinsi Kepri, Miftachul Choiri mengatakan, jika dolar naik tinggi tentu tidak bagus untuk importir. Begitu juga jika dolar turun rendah maka akan berdampak pada eksportir.
“Karena kita ini terdiri dari eksportir dan importir. Barang yang ada disini barang yang diekspor dan diimpor,” ujarnya.
Baca Juga: Persiapan sudah Matang, Perhatikan Aturan Nonton Konser Dewa 19 di Batam
Sehingga, tugas Bank Indonesia adalah memastikan kestabilan nilai rupiah. Baik itu barang dan jasa dari inflasi dan juga mata uang negara lain dari sisi kurs. Dimana, saat ini yang perlu dilakukan adalah menjaga stabilitasnya.
“(Dolar) 17 ribu tapi stabil terus lebih bagus dari pada hari ini 13 ribu, besoknya 14 dan besoknya lagi 12,” katanya.
Ia menjelaskan, ada dua sisi keuntungan jika kurs naik atau turun. Jika kurs naik, tentunya akan mempunyai keuntungan dari sisi ekspor. Barang-barang yang keluar dari Indonesia akan dinilai lebih murah oleh negara lain karena nilai tukar mata uang mereka yang naik. Sehingga, Indonesia dapat bersaing dari sisi ekspor.
“Ketika kurs naik ekspor kita banyak. Kita akan mendatangkan banyak devisa dari situ,” ujarnya.
Baca Juga: BP Batam dan Jepang Lakukan Upaya Penyehatan Daerah Tangkapan Air
Sementara jika nilai tukar dolar turun, maka akan diuntungkan dari sisi impor. Terutama impor yang mendapatkan insentif dari pemerintah seperti impor alat produksi yang didatangkan dari luar negeri dan produksi di Indonesia.
“Jadi sebenarnya belum tentu kurs naik itu jelek dan belum tentu kurs turun itu bagus. Bahkan kadang-kadang ketika rupiah terlalu kuat dengan tujuan tertentu bisa melemahkan. Salah satunya untuk menggenjot ekspor tadi. Jadi yang bagus itu kestabilan karena untuk bisnis (kestabilan) itu kan bagus. Misalnya saya produksi hari ini dengan asumsi dolar sekian dijual besok dengan dolar sekian, tapi kok berubah. Nah itu kepastian bisnisnya kan meleset jauh,” jelasnya.
Sehingga, jika dibandingkan inflasi dan deflasi mana yang baik, tentunya lebih bagus deflasi. Namun deflasi ini tidak baik bagi produsen. Sebagai contoh, jika diproduksi hari ini dengan biaya 100 dan besoknya dijual 80 tentu akan menimbulkan kerugian.
“Yang bagus inflasi rendah pertumbuhan tinggi. Kurs juga gitu, makanya ketika ditanya orang BI, tidak ada satu pun orang yang menjawab masalah angka. Dolar di 2023 sekian, tidak ada. Tapi stabil, cenderung stabil, pakai koridor dia, naik turunnya pakai koridor. Jadi BI itu kayak bulog sebenarnya, tapi bulog dolar,” katanya.
Baca Juga: Komite Sekolah Pelaksana Proyek Penambahan RKB, Warga Mempertanyakan
Ia menjelaskan saat ini Indonesia sudah memegang devisa. Sehingga secara makro juga sudah dipikirkan oleh pemerintah. Ada batasan tertentu ketika kurs itu sudah melewati batas akan dilakukan intervensi. Tidak hanya batas atas, namun batas bawah juga bisa dilakukan intervensi.
“Kalau dolar terlalu murah, ini daya saing ekspor kita jadi jelek. Kita juga intervensi untuk menjaga kestabilan dolar tadi,” katanya.
Dampak dari nilai tukar dolar Singapura yang naik kepada masyarakat tentunya sangat besar. Terutama inflasi dari kelompok komoditas pangan bergejolak (volatie food).
“Itu bisa dari sisi misalnya keberlangsungan usaha karena dengan inflasi pasti ada adjusmen masalah indeks hidup layak. Karena harga naik indeks hidup layak itu ada batasan tertentu. Kalau orang berpendapatan dibawah indeks ini, dia akan dinilai sebagai orang miskin,” tuturnya.
Baca Juga: Polsek Sekupang Lakukan Hal Ini Saat Ada Warga yang Ribut Gara-gara Parkir
Dengan inflasi yang tinggi, maka dampaknya akan bertambahnya jumlah penduduk kurang mampu di Indonesia. Sebagai contoh, biaya hidup per bulan sebelumnya sebesar 2.000, naik menjadi 2.500. Sementara pendapatan berada di 2.300.
“Maka akan jadi orang tidak mampu. Padahal dengan biaya per bulan 2.000 dia tidak dalam kategori orang tidak mampu atau miskin,” jelasnya.
Kemudian, dari sisi dunia usaha akan ada pengaturan terkait dengan Upah Minimum Regional (UMR) maupun Upah Minimum Kota (UMK) yang akan terjadi masalah. Pengusaha tidak akan menyerap tenaga kerja karena pendapatan perusahaan yang turun.
“Itu akan ada PHK karena industri tidak bisa menahan. Jadi inflasi yang tinggi itu dampaknya bisa kemana-mana. Bisa sosial politik hingga a tingkat kejahatan. Karena dengan uang yang sama dia tidak bisa membeli barang yang seharusnya bisa dia beli,” katanya.
Sehingga, ketika indeks hodup layak naik maka jumlah orang miskin atau tidak mampu akan semakin besar. Sebab, bukan pendapatan yang berubah, tetapi batasn indeks hidup layak naik yang naik.
“Ketika inflasi naik pemerintah juga harus adjust upah minimum. Ketika upah naik dan industri tidak bisa menahan kenaikan umk tadi, itu akan berakibat ke tingkat pengangguran. Jadi memang inflasi ini harus kita jaga stabilitasnya diangka berapa, kemudian nanti dampaknya seperti apa itu di kita sudah ada kajiannya,” imbuhnya. (*)
Reporter : Eggi Idriansyah