Senin, 16 September 2024
spot_img

SEZ Johor-Singapura Jadi Pesaing

Berita Terkait

spot_img

batampos – Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Batam, Rafki Rasyid, menyebut bahwa iklim investasi di Batam masih terbilang positif meskipun tantangan global semakin meningkat.

Rafki menyoroti ketidakpastian pasar global akibat eskalasi konflik internasional dan perkembangan kawasan industri baru di Johor, Malaysia, yang bekerjasama dengan Singapura, sebagai ancaman bagi daya saing Batam.



“Realisasi investasi selama tahun 2023 dan awal 2024 ini cukup baik. Tidak ada kendala berarti, hanya masalah-masalah kecil yang bisa diselesaikan,” katanya, Kamis (15/8).

Dia menambahkan, kawasan industri di Batam terus mengalami ekspansi. Meskipun penambahan investasi baru di sektor tersebut masih terbilang kurang.

Salah satu permasalahan utama yang dihadapi dunia usaha di Batam saat ini adalah terkait perizinan, khususnya mengenai Amdal dan perizinan lingkungan. Menurut Rafki, izin ini sering kali mengalami hambatan karena masih berada di bawah kewenangan pemerintah pusat, tepatnya di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

“Investasi di sektor Energi Baru Terbarukan (EBT) dan digitalisasi, termasuk pembangunan data center, cukup banyak. Namun, masalah perizinan lingkungan yang masih ditahan oleh pusat membuat proses perizinan menjadi lama dan menghambat investasi di Batam,” ujarnya.

Ia menekankan pentingnya pelimpahan kewenangan perizinan secara penuh kepada pemerintah daerah atau BP Batam. Penumpukan proses perizinan di tingkat pusat akan menghambat laju investasi, tidak hanya di Batam, tetapi juga di seluruh Indonesia.

“Kalau tidak di-support oleh pemerintah pusat, lama-lama Batam akan semakin sepi, tidak dilirik lagi oleh investor. Johor, yang saat ini bekerjasama erat dengan Singapura, akan semakin menarik dibandingkan Batam. Maka, semua yang menghambat laju investasi harus dihapus,” kata Rafki.

industri
Maket salah satu kawasan industri baru di Batam. Pengusaha mendesak agar segala hambatan berinvestasi dihapus, mengingat Batam kini punya saingan baru SEZ Johor Bahru-Singapura.
F. Maket Kawasan Industri Tunas

Sebagai solusi, Rafki menyarankan agar pemerintah pusat memanfaatkan Free Trade Zone (FTZ) yang ada serta kawasan ekonomi khusus (KEK) di Batam untuk mendorong investasi dan mempercepat proses perizinan.

“Dengan demikian, kita berharap investasi di Batam lebih cepat berkembang dan daya tarik Batam bagi investor bisa kembali meningkat,” kata Rafki.

Ketua Bidang KPBPB (Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) Himpunan Kawasan Industri (HKI) Indonesia Tjaw Hioeng membenarkan perkataan Rafki. Ia mengungkapkan, izin lingkungan menjadi keluhan utama, baik oleh Penanaman Modal Asing (PMA) maupun Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).

”Bagaimana mau merealisasikan investasi yang masuk, kalau persyaratan dasar saja tidak bisa dipenuhi. Makanya tidak heran kalau realisasi investasi (Batam) berada di luar 10 besar,” ungkap pria yang akrab disapa Ayung tersebut.

Ia juga mengatakan, setiap hari banyak calon investor mencari ready build factory. Namun, permasalahannya adalah perizinan bidang lingkungan yang agak lambat, sehingga mempengaruhi pembangunan gedung.

”Akhirnya kita kehilangan mementum, sehingga mereka memilih SEZ (Special Economy Zone) JB (Johor Bahru) SG (Singapura), walaupun sebenarnya Batam lebih seksi. Tapi ya itu, lama dan rumit beberapa perizinannya,” ucapnya.

Bukan hanya Apindo dan KPBPB HKI yang teriak, sebelumnya Batam Shipyard Offshore Association (BSOA) juga menyoroti kebijakan pajak yang dinilai memberatkan industri shipyard di Batam. Padahal, industri shipyard saat ini mulai menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang positif.

Ketua BSOA, Novi Hasni mengungkapkan, persoalan utama yang dihadapi industri galangan kapal saat ini, yaitu pembebanan Pajak Penghasilan (PPh) 22 Impor sebesar 2,5 persen untuk bahan baku material.

Menurutnya, kebijakan ini memberikan ketimpangan karena kapal yang diimpor tidak dikenai pajak yang sama, sementara kapal yang diproduksi di Batam harus menanggung beban tersebut.

”Dengan adanya PPh 22 Impor sebesar 2,5 persen, harga kapal dari Batam menjadi lebih tinggi dibandingkan kapal impor, yang dapat mengurangi daya saing produk dalam negeri,” ujar Novi, Senin (15/7/2024) lalu.

Masalah ini tidak hanya mempengaruhi harga jual kapal, tetapi juga mengancam cash flow perusahaan karena pembayaran pajak dilakukan di awal, sementara proses restitusi pajak memerlukan waktu yang cukup lama dan rumit.

Industri galangan kapal di Batam yang menyumbang 56 persen dari total produksi kapal nasional, menghadapi persaingan ketat dengan industri serupa di luar negeri, seperti di Tiongkok yang mendapatkan insentif fiskal dan dukungan finansial signifikan dari pemerintah.

”Di China mereka mendapat kredit dengan suku bunga rendah, kami di Batam harus mengimpor 60 persen bahan baku dengan pajak 2,5 persen yang mengurangi daya saing secara signifikan,” ujar Novi.

BSOA menegaskan perlunya dukungan pemerintah untuk menghapus atau mengurangi PPh 22 Impor ini agar industri galangan kapal Batam dapat bersaing secara lebih adil dan efektif di pasar global.

“Keputusan ini diharapkan dapat meningkatkan investasi dalam negeri serta mendukung pertumbuhan ekonomi lokal,” kata dia.

Selain masalah PPH21 Impor, kalangan pengusaha dan juga industri Shipyard galangan kapal di Kota Batam, juga dibuat risau dengan rencana penghapusan kebijakan terkait Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) oleh pemerintah. Hal ini bakal berdampak pada iklim dunia usaha di Batam.

Novi mengatakan, beberapa bulan lalu pihaknya melakukan FGD membahas peningkatan TKDN terutama di sektor galangan kapal.

“Memang kenyataan saat ini persentasenya lebih ke impor dari pada local content, namun di Batam dengan industri galangan kapal diiringi banyaknya project harusnya industri komponen kapal itu mestinya lebih banyak dan tumbuh,” ujarnya, Jumat (11/7/2024) lalu.

Ia menyebutkan, dalam hal ini, diperlukan memberdayakan local Content seperti. Berbeda halnya dengan mesin-mesin kapal yang masih impor, masih dimaklumi karena teknologi dalam negeri belum sampai kesana.

Namun untuk material dan tenaga kerjanya, termasuk kapal dibuat engineer lokal.

“Jadi kalau dihilangkan itu sayang sekali. Karena kami membuat kapal itu ada yang untuk di ekspor dan ada untuk dalam negeri. Dalam negeri itu ada swasta dan pemerintahan, justru kalau di pemerintahan kewajiban TKDN itu 60 persen namun kenyataannya belum sampai,” terangnya.

Maka, pihaknya mendorong industri komponen kapal terus bertumbuh. Sebab, jika galangan kapalnya tumbuh, mestinya industri komponen juga turut maju.

“Untuk soal TKDN ini balik lagi khususnya galangan kapal saya rasa membutuhkan modal dan kapital yang sangat besar,” ujarnya.

Pemerintah bisa membantu kebijakannya jika memang harus pengajuan modal baik itu perbankan swasta ataupun nasional. ”Menurut saya yang harus diturunkan ialah suku bunganya, jangan sampai dua digit. Kemudian perizinannya juga dipermudah,” ujar Novi.

Ia menambahkan, industri galangan kapal, terutama industri komponen kapal, hasil produksinya harus tersertifikasi seluruhnya. Sertifikasi itu minimal sama ketentuan International Maritime Organization (IMO)

Karena kapal itu connec langsung ke IMO, baik itu armada kapal nasional maupun jenis ocean going yaitu kapal-kapal yang berlabuh atau beredar di seluruh dunia,” terangnya.
Ia melanjutkan, untuk biaya sertifikasi tidaklah murah. Misalnya untuk kapal dalam negeri untuk komponen kapal harus ada sertifikasinya dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI). Namun ini tidak murah.

”Harusnya ini bisa dibantu oleh pemerintah. Sebab sertifikasi peralatan itu dibutuhkan dan biayanya lumayan mahal,” ujar Novi.(*)

 

Reporter : FISKA JUANDA / AZIS MAULANA / ARJUNA

 

spot_img
spot_img

Update