Kamis, 19 September 2024
spot_img

Singapura Angkat Bicara Soal Polemik Rencana Ekspor Pasir Laut

Kebijakan Mutlak di Tangan Indonesia

Berita Terkait

spot_img
Wakil Perdana Menteri F chahahya 1 scaled e1689666983601
Wakil Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong saat memberi keterangan pers kepada para peserta Indonesia Journalist Visit’s Program (IJVP) 2023 di Singapura, pekan lalu. F. Chahaya Simanjuntak/Batam Pos

batampos – Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26/2023 tentang pengelolaan hasil sedimentasi di laut, berencana membuka kembali keran ekspor pasir laut, setelah 20 tahun ditutup. Tentu saja ini menguntungkan Singapura sebagai salah satu importir utama.

Namun, rencana itu menuai banyak kritikan. Terutama dari aktivis lingkungan hidup. Ekspor pasir laut merusak lingkungan di Kepri dan hanya menguntungkan Singapura. Sebab, dengan pasir laut asal Indonesia itu, daratan Singapura akan terus bertambah. Sementara, sejumah pulau di Kepri terancam tenggelam.



Menyikapi polemik itu, Singapura akhirnya bereaksi. Melalui Wakil Perdana Menteri Singapura, Lawrence Wong, Singapura menyebutkan kebijakan ekspor pasir laut oleh Pemerintah Indonesia adalah mutlak keputusan Pemerintah Indonesia.

“Pendekatan Singapura selalu seperti ini, bagi kami, impor pasir dilakukan sektor komersial. Setiap importir harus mematuhi hukum dan peraturan dari eksportir,” ujar Wong di kantornya di The Treasury Kementerian Keuangan (MoF) Singapura, pekan lalu.

“Itu bukan terserah kami. Namun terserah negara eksportir. Jadi, Indonesia yang memutuskan. Hanya, dari kacamata kami, selama seseorang memiliki kepentingan komersial, ya itu murni komersial. Jadi ya, kebijakan itu tidak dilakukan di tingkat pemerintah,” tambahnya.

Baca Juga: Polisi Janji Tindak Seluruh Tambang Pasir Ilegal di Batam

Hanya saja Lawrence menegaskan, saat Indonesia membuka keran ekspor pasir kembali, maka pihaknya memastikan para importir di negara itu wajib mematuhi hukum dan peraturan negara itu dalam hal ekspor dan impor.

“Ini dari pihak kami. Konsisten dan sudah berlangsung sangat lama,” ujarnya.

Seperti diketahui, Indonesia menutup ekspor pasir laut sejak 2003 lalu. Kebijakan ini sempat membuat hubungan dua negara renggang. Alasannya, kebijakan ini menghambat usaha Singapura memperluas lahan lewat reklamasi.

Dilansir dari data pusat komoditas Trademap, Singapura menjadi importir pasir laut utama dari Indonesia. Trademap.org mencatat, pada 2003 lalu, volume ekspor komoditas HS 2505.90.000 berada pada angka 3,8 juta ton dengan nilai penjualan sebesar 9,6 juta dolar AS. Dari angka tersebut, pengiriman HS terbesar dilakukan ke Singapura, yakni sebesar 3,6 juta ton dengan nilai penjualan 8,8 juta dolar AS.

Menteri Senior Urusan Luar Negeri Singapura, Mohamad Maliki Osman, menyebutkan, terkait impor pasir laut, sebenarnya Singapura tak hanya berurusan dengan Indonesia, melainkan juga dengan banyak negara lain.

“Soal ekspor pasir laut, nomor satu adalah pasir ekspor atau apapun yang berhubungan dengan pasir sebenarnya adalah operasi sektor swasta. Bukan hanya dengan Indonesia, tapi juga kami menjalin kerja sama dengan banyak negara. Dalam aspek yang berbeda,” ujar Maliki.

Baca Juga: Siswa yang Diakomodir di Luar Jalur PPDB akan Tetap Masuk Kelas Reguler

Namun, terkait kebijakan Indonesia mengenai ekspor pasir laut ini, Maliki menyebutkan, pihaknya memastikan bahwa pengusaha swasta Singapura yang mengimpor pasir harus tunduk pada Undang-Undang usaha yang mereka tetapkan, dan juga wajib dilakukan sesuai dengan hukum internasional, khususnya terkait dampak lingkungan yang disebabkan aktivitas ekspor dan impor ini.

“Kami tidak akan memaafkan sektor swasta mana pun yang melanggar pendirian operasi ekspor-impor. Atau bahkan kalau tidak mematuhi hukum dari negara tuan rumah tempat mereka beroperasi, atau hukum internasional dalam hal ini. Itu adalah prinsip panduan yang kami operasikan,” ungkapnya.

Lebih lanjut Maliki menyebutkan, sebenarnya Pemerintah Singapura tidak punya hak langsung dalam operasi ini.

“Kalau swasta kami bekerja sama dengan Indonesia, maka mereka harus mematuhi hukum domestik Singapura dan hukum internasional. Hukum dalam negeri sangat jelas tentang apa pun ekspor itu. Kemudian yang berikutnya adalah hukum internasional. Jika ada kemungkinan bertentangan dengan hukum internasional, maka perusahaan sektor swasta harus tahu bahwa mereka seharusnya tidak memulai kegiatan tersebut,” tegasnya.

“Perusahaan sektor swasta kami tahu aturan itu,” tutupnya. (*)

 

 

Reporter : CHAHAYA SIMANJUNTAK

 

 

 

spot_img
spot_img

Update