batampos-Anggota DPRD Kepri Taba Iskandar memenuhi panggilan Subdit 4 Ditreskrimsus Polda Kepri sebab memiliki lahan di kawasan Rempang, Galang. Politisi tersebut ditanya perihal kepemilikan lahan tersebut selama satu jam. Lahan yang dimilikinya termasuk ke dalam Hutan Produksi yang dapat Dikonversi (HPK) BP Batam, sehingga perlu pendataan ulang.
“Saya ditanya tentang penyelidikan status lahan di Rempang, karena saya dinyatakan sebagai penggarap lahan,” ujarnya, saat dijumpai di Mapolda Kepri, Rabu (13/9),
Saat ditanya oleh penyidik, Taba mengaku bahwa dirinya mempunyai lahan di pulau Rempang sekitar dua hektare dan sudah ditanami pohon. Namun, lahan itu tidak pernah ia urus secara langsung.
“Itu lahan saya dapat dari teman saya dulu yang punya hutang sama saya. Dibayar lah pake lahan itu. Cuma saya tahu surat itu hanya di tanda tangani Kepala desa makanya saya biarkan selama 20 tahun. Sekarang saya tanami durian, baru tumbuh kecil. Tapi kalau sekarang negara minta ya silakan saja,” kata dia.
BACA JUGA: 6 Perusahaan Pemilik Lahan Besar di Rempang
Taba diminta menyerahkan lahan tersebut dengan menandatangani surat perjanjian. Namun, Taba menolak jika lahan tersebut diserahkan ke pada BP Batam.
“Kalau kepada negara saya mau. Karena redaksional surat itu harus menyerahkan ke Hak Pengelolaan Lahan (HPL) BP Batam. Emang lahan itu punya BP Batam? Apakah sudah HPL lahan itu,” tanya dia.
Setahu dia, lahan di Rempang itu tidak memiliki HPL BP Batam. Tapi memiliki Alas Hak yang dikeluarkan tahun 1990 sampai 1998. Sehingga salah besar jika lahan di Rempang diserahkan ke BP Batam.
“Kalau udah ada HPLnya bisa gusur, nah ini tidak ada,” tambah dia.
Untuk itu, dirinya meminta petugas lebih koperatif dan adil menyikapi permasalahan lahan. Jangan sampai, penduduk Rempang yang memang orang tempatan diberlakukan tidak adil.
“Tapi kalau masyarakat Rempang yang sudah bermukim di sana puluhan tahun jangan ditindas. Mereka itu sudah masuk kedalam kerajaan Riau Lingga sejak dulu,” kata dia.
Taba mengaku, cukup sedih dengan tindakan aparat dan pemerintah saat ini. Menurutnya, pemerintah dan masyarakat perlu duduk kembali membahas soal relokasi yang akan dilakukan. Sebab kata Taba relokasi tersebut tidak tepat.
Beda halnya masyarakat yang tinggal di Ruli (Rumah Liar) serta orang-orang yang membeli tanah di pulau Rempang tersebut.
“Jangan disamakan dengan penduduk asli atau tempatan, duluan mereka tinggal di situ sebelum terbentuknya BP Batam dan Kota Administrasi Batam,” kata Taba.
Taba menyarankan agar investasi ini jalan, sesuai dengan harapan masyarakat juga, baiknya konsep pengembangan Rempang didesain ulang dengan mengintegrasikan masyarakat tempatan ke dalam konsep pembangunan, tanpa melakukan relokasi.
“Kalau rumah tinggalnya tidak cocok dengan kawasan yang akan dijadikan pariwisata rumahnya yang diperbaiki, karena dia mencari makan di sana, bukan di tempatkan di rumah susun atau dibuatkan rumah lagi, kampung itu adalah bagian integrasi dari konsep pengembangan kawasan. Wisatawan pasti rindu juga dengan kearifan lokal,” kata Taba. (*)
reporter: Azis