batampos – Ombudsman Kepri sudah menerima laporan RH, guru sekolah negeri SD 013 Sekupang di Batam yang merasa dizalimi pihak sekolah. Saat ini, laporan tersebut akan dipelajari untuk kemudian ditindaklanjuti.
” Yang bersangkutan juga melapor ke kami 2 hari lalu. laporan itu sudah diregistrasi dan akan kami pelajari,” ujar Lagat Siadari, Ketua Ombudsman Cabang Kepri, kemarin.
Menurut dia, laporan guru tersebut lebih ke substansi kenapa sampai tidak diberikan hak sebagai guru mata pelajaran, padahal memiliki sertifikasi. Dalam aturan sudah jelas guru yang memiliki sertifikasi harus mengajar 21 SKS dalam satu semester.
Baca Juga:Â Guru Didiskriminasi Karena Menentang Penjualan Buku LKS, Ini Tanggapan Disdik Batam
“Kalau tak mengajar 21 SKS persemester, maka sertifikasi itu bisa hilang atau dicabut. Ini yang kasihan, ” jelas Lagat.
Menurut Lagat, pemicu RH tidak dapat mengajar karena persoalan LKS, itu hanya sebagai informasi tambahan. Bahkan, ia juga mendalami informasi guru yang tidak memiliki sertifikasi diperbolehkan menjadi wali kelas.
“Ada dua poin yang kami simpulkan. Pertama kenapa guru tersebut tidak diberi kewajiban mengajar, padahal sudah memiliki sertifikasi. Kedua apakah sadar pengangkatan guru yang tidak memenuhi syarat untuk mengajar,” jelas Lagat.
Dikatakan Lagat, pihaknya akan mempelajari dan mendalami laporan tersebut. Untuk nantinya ditindaklanjuti ke sekolah yang bersangkutan.
“Kami masih pelajari, karena laporan itu baru masuk 2 hari lalu,” jelas Lagat.
Baca Juga:Â Soal Penghapusan Tenaga Honorer, Pemko Batam Menunggu Keputusan Pusat
Disinggung terkait masih adanya penjualan LKS di sekolah-sekolah negeri, Lagat tak menampik hal itu. Bahkan pihaknya telah menerima dua laporan terkait penjualan LKS di sekolah negeri, salah satunya sekolah daerah Nongsa.
“Kami sudah terima 2 laporan. Saat ini sudah kami periksa juga. Penjualan LKS ini ibarat kentut, dirasakan tapi tak diungkapkan. Para orang tua diduga takut melapor, karena khawatir anak mereka akan dibuli teman bahkan guru. Jadi ya mereka mengaminkan saja, toh mungkin ya mereka pikir uang tak seberapa, asal anak mereka belajar,” ungkap Lagat.
Masih kata Lagat, pihak sekolah menggunakan beragam cara untuk bisa menjual LKS kepada para siswanya. Diantarnya, penjualan LKS melalui paguyuban kelas.
“Kalau yang menjual komite pasti tercium, dan itu bisa disebut punggutan liar,” jelasnya.
Ia juga tak habis pikir alasan sekolah mewajibkan siswa untuk membeli LKS. Padahal dana bos diperuntukkan untuk kebutuhan para siswa, salah satu prioritasnya LKS. Bahkan bagi yang tak ada, bisa meminjam di perpusatakaan
“Kalau LKS tetap dibeli, Berarti penggunaan dana bos dipertanyakan. Pembeliaan buku wajib dari dana bos. Kami sudah sering lihat ini, tapi sekolah selalu membantah. Orang tua pun tutup mulut,” jelas Lagat.
Baca Juga:Â Buronan Paling Dicari di China Ditangkap di Batam
Bahkan, lanjut Lagat. Sekolah dilarang melakukan punggutan atau iuran wajib apapun kepada siswa dan wali murid. Kecuali sumbangan yang sifatnya tidak mengikat dan hal itu tak wajib.
“Iuran tak boleh, kalau sumbangan boleh saja, tapi tak diwajibkan. Terserah orang tua mau kasih berapa, tak ditargetkan,” tegas Lagat. (*)
Reporter: Yashinta