batampos – Berdasarkan data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Batam, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Bandar Dunia Madani pada Agustus 2024 tercatat sebesar 7,68 persen.
Angka ini menunjukkan penurunan sebesar 0,46 persen dibandingkan dengan TPT pada Agustus 2023 yang mencapai 8,14 persen. Meski penurunan ini menggembirakan, jumlah penganggur di Batam masih cukup signifikan.
Kepala Bidang Pembinaan Penempatan dan Perluasan Kesempatan Kerja Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Batam, Isra Wira Sanjaya, menyebutkan bahwa pengangguran di Batam tidak hanya diukur berdasarkan TPT.
“Kami di Disnaker tidak melihat hanya dari tingkat pengangguran terbuka, karena itu adalah ranah BPS. Kami lebih fokus pada jumlah pencari kerja terdaftar yang berhasil mendapatkan pekerjaan,” katanya, Kamis (9/1).
Menurut data BPS, angkatan kerja di Batam mencapai 940,72 ribu orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 69,83 persen atau 606,49 ribu orang telah bekerja, sedangkan 50,43 ribu orang masih menganggur. Walau TPT menunjukkan penurunan, masih terdapat sekitar 50 ribu orang yang belum mendapatkan pekerjaan.
Disnaker mencatat, jumlah pencari kerja terdaftar di Batam pada tahun 2024 sebanyak 24.690 orang. Dari jumlah tersebut, 17.329 orang telah berhasil ditempatkan di pekerjaan, meninggalkan sekitar 7 ribu orang yang masih menganggur.
Isra menyebut, bahwa pihaknya terus berupaya mempertemukan pencari kerja dengan pemberi kerja. Salah satu upaya yang dilakukan adalah melalui pelatihan kerja yang terus ditingkatkan.
Upaya ini terbukti efektif dalam meningkatkan penyerapan tenaga kerja di 2024 lalu, meskipun tantangan masih tetap ada. Sebagai tindak lanjut untuk tahun 2025, rencana untuk menggelar job fair kembali digalakkan dengan sistem pendaftaran yang lebih modern melalui platform online.
“Job fair akan kami selenggarakan untuk warga yang memiliki KTP Batam saja. Pendaftarannya akan dilakukan secara online, dan proses perekrutan akan dilakukan secara daring,” kata dia.
Sementara itu, BPS juga mencatat bahwa sektor jasa menjadi penyerap tenaga kerja terbesar di Batam, menyumbang 57,22 persen dari total angkatan kerja. Sektor manufaktur juga berkontribusi signifikan dengan 41,33 persen. Sebaliknya, sektor pertanian hanya menyumbang 1,45 persen dari total tenaga kerja di Batam.
Selain itu, sektor formal juga menunjukkan angka yang positif. Sekitar 72,03 persen pekerja Batam bekerja di sektor formal, dengan peningkatan 1,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Ini menandakan adanya perbaikan dalam kualitas pekerjaan yang tersedia di Batam.
Tingkat pengangguran juga bervariasi berdasarkan tingkat pendidikan. Pekerja dengan latar belakang pendidikan rendah, seperti tamatan SD ke bawah, mencatatkan tingkat pengangguran tertinggi, yaitu sebesar 11,77 persen. Sementara itu, lulusan perguruan tinggi mencatatkan tingkat pengangguran terendah, yakni 5,33 persen.
Pencapaian ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara lapangan kerja untuk mereka yang memiliki pendidikan tinggi dan yang hanya memiliki pendidikan dasar. Hal ini mencerminkan peran vital pelatihan keterampilan dan pendidikan lanjutan dalam meningkatkan daya saing tenaga kerja di Batam.
Sektor pendidikan tampaknya berperan dalam menentukan keberhasilan dalam mencari pekerjaan. Peningkatan jumlah lulusan perguruan tinggi seharusnya membuka peluang lebih besar untuk memperoleh pekerjaan, meskipun tantangan dalam sektor ini masih ada.
BPS juga melaporkan penurunan signifikan pada tingkat pengangguran di kalangan lulusan SMK/MAK, yang turun 3,79 persen poin dibandingkan tahun lalu. Namun, tingkat pengangguran bagi lulusan perguruan tinggi justru mengalami kenaikan 2,00 persen poin, yang menjadi perhatian bagi pihak terkait.
Tantangan terbesar dalam mengatasi pengangguran di Batam adalah pencocokan antara kebutuhan tenaga kerja dengan keterampilan yang dimiliki oleh pencari kerja. Dinas terkait terus mendorong pelatihan kerja dan memastikan keterampilan yang diajarkan sesuai dengan kebutuhan pasar kerja.
Selain itu, penting untuk terus meningkatkan kerja sama antara pemerintah, perusahaan, dan lembaga pendidikan untuk menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhan dunia industri yang terus berkembang. Hal ini kemungkinan dapat mengurangi ketidaksesuaian antara kompetensi yang dimiliki oleh tenaga kerja dan apa yang dibutuhkan oleh perusahaan.
Tak cuma itu saja, kebijakan yang mendukung pengembangan tenaga kerja lokal juga harus jelas, seperti meningkatkan keterampilan dan mendorong peluang kerja melalui investasi. (*)
Reporter: Arjuna