Kamis, 30 Januari 2025

Warga Rempang Belum Ada yang Pindah ke Rusun

Berita Terkait

spot_img

 

batampos – Masyarakat Rempang terlihat kurang berminat untuk tinggal di rumah susun sewa (rusunawa) dan rumah toko. Hingga Kamis (21/9) belum ada warga Rempang yang lahannya masuk dalam pengembangan kawasan Rempang Eco City pindah ke lokasi tempat tinggal sementara.


Namun, opsi mencari tempat tinggal sementara secara mandiri seperti numpang di rumah kerabat atau keluarga lebih diminati. Alasannya adalah faktor kenyamanan dan rutinitas.
Sejumlah warga Rempang mengaku tidak nyaman jika harus tinggal sementara di rusunawa atau lokasi yang disediakan di Batam. Pasalnya, suasana tempat tinggal sementara berbeda dengan perkampungan mereka.

Tak hanya itu, rutinitas melaut juga jadi pertimbangan utama karena jika tinggal sementara di Batam mereka akan repot dengan rutinitas tersebut. ”Lebih baik numpang di sekitar sini juga daripada ke Batam,” ujar Rusdi, warga Rempang, kemarin.

Begitu juga dengan Hasbi, warga kampung lainnya, yang mengaku lebih memilih opsi tinggal sementara di sekitar wilayah Rempang sembari menanti lokasi relokasi rampung dibangun.

”Repot itu. Bagaimana nanti perahu dan alat tangkap kami mau dibawa ke Batam. Lagi pula tak nyaman bagi kami kalau pindah sementara ke Batam,” ucapnya.

Hal serupa disampaikan oleh Ketua LPM Rempang Cate, Syamsurizal. Masyarakat di sana umumnya menolak pindah sementara ke Batam. Ia mengatakan masyarakat lebih nyaman di sana ketimbang di Batam karena rutinitas dan juga suasana.

”Bukan solusi itu kalau ke rusunawa atau ke Batam (sementara). Repot nanti. Warga sini umumnya suku laut yang terbiasa dengan kehidupan laut. Barang banyak, belum lagi alat tangkap, perahu mau ditaruh di mana. Lebih nyaman di sini,” ujar Syamsurizal.

Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia, saat menyambangi masyarakat Rempang beberapa waktu lalu sudah menerima keluhan masyarakat tersebut. Dikatakan Bahlil, untuk masalah ini pemerintah memberi opsi kepada masyarakat yang kampungnya akan digeser untuk memilih tempat tinggal sementara secara mandiri seperti numpang di rumah kerabat atau keluarga ataupun cara lain untuk tetap tinggal di sekitarnya.

Bahlil juga menjelaskan untuk opsi tinggal sementara secara mandiri ini pemerintah tetap memberikan kompensasi seperti yang dijanjikan. Yakni biaya tunggu sebesar Rp 1,2 juta per kepala dan biaya sewa kontrakan sebesar Rp 1,2 juta per kepala keluarga.

”Asalkan masyarakat tetap nyaman,” ujarnya.

Secara umum disebutkan Bahlil, jika ada kampung tua digeser, pemerintah menyiapkan (lokasi relokasi) lahan pengganti seluas 500 meter persegi dengan bangunan tipe 45 senilai Rp 120 juta. Uang tunggu Rp 1,2 juta per kepala, biaya kontrak Rp 1,2 juta per kepala keluarga.

”Yang mau cari tempat tinggal secara mandiri juga boleh. Pilih tinggal ke tempat saudara atau kontrak juga boleh,” ujar Bahlil.

Proses pembangunan akses jalan menuju lahan relokasi warga Rempang

Sementara itu, warga dari Pasir Panjang, Rempang Cate, merespons kehadiran Kepala BP Batam sekaligus Wali Kota Batam, Muhammad Rudi. Warga Pasir Panjang tetap menolak direlokasi dan meminta agar aparat keamanan untuk segera ditarik dari kampung mereka.

”Kami mendukung proyek investasi berkelanjutan khususnya kampung kami di Rempang. Lalu kami mendesak agar pemerintah tidak tergesa-gesa dalam proyek ini dan mengkaji kembali,” ujar warga Pasir Panjang, Riska, di sela-sela penyampaian sosialisiasi, Kamis (21/9).

Warga menolak setitik pergeseran atau relokasi dan pengosongan di tanah leluhur.

”Kami mendesak presiden dan Komnas HAM untuk memberi kami kepastian hukum dengan menerbitkan sertifikat hak milik atas 16 titik kampung. Ini sebagai bentuk pengakuan negara atas keberadaan kami,” kata dia.

Lebih lanjut, warga juga mendesak agar Presiden untuk segera membubarkan aparat di lapangan karena masih meninggalkan trauma mendalam bagi keluarga dan anak-anak setempat. ”Dan terpenting untuk segera membebaskan warga kami yang masih ditahan dan menolak iming-iming yang ditawarkan oleh BP Batam,” tutupnya.

Sementara itu, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBI) dan YLBHI-LBH Pekanbaru, Walhi Riau, LBH Mawar Saron, PBH Peradi Batam, dan Kontras mem­bangun posko bantuan hukum solidaritas untuk Rempang di Sembulang Hulu, Galang.

”Yang jelas ini ialah rentetan pendampingan kami kepada warga usai peristiwa 7 September di Rempang, dan 11 September di Gedung BP Batam. Kami menilai adanya upaya kriminalisasi dan intimidasi, sehingga kami akan melakukan upaya hukum akar masalah penolakkan relokasi oleh warga,” ujar Ketua YLBHI-LBHI Pekanbaru, Andi Wijaya, saat dijumpai, Kamis (21/9).

Andi mengatakan, hadirnya posko bantuan hukum dan rekan-rekan dari lawyer telah melakukan pendampingan hukum terkait status tersangka yang ditangguhkan dan ada yang berasal dari Sembulang Hulu.

”Yang jelas nanti akan ada beberapa titik posko dan tim sedang mendata dan di Sembulang Hulu ini titik kumpulnya. Posko ini terbuka bagi siapapun,” ujarnya.
Sejauh ini terdapat sejumlah aduan dari masyarakat terkait penolakan relokasi dan juga menolak untuk didatangi oleh petugas.

”Itu yang menjadi aduan warga selain menolak relokasi juga menolak agar petugas tidak perlu lagi mendatangi untuk mengintimidasi kampung mereka,” ujarnya.

Lanjutnya, untuk proses hukum pidana dari tim advokasi dari LBH Mawar Saron Batam, Mangara Sijabat, me-ngatakan bahwa sebelumnya pada peristiwa 7 September para tersangka telah ditangguhkan.

”Tapi, bukan hanya penangguhan yang kami minta tetapi juga penghentian penyidikan agar status tersangka menjadi gugur. Karena tindakan mereka ialah upaya mempertahankan haknya,” ujarnya.

Pihaknya meminta Polda Kepri dan Polresta Barelang untuk menerbitkan SP3 pemberhentian penyidikan kepada 8 tersangka tersebut.

Di lain pihak, Kasat Reskrim Polresta Barelang, Kompol Budi Hartono, mengatakan, hingga saat ini pihaknya belum menerima surat pengajuan penangguhan penahanan terhadap 26 tersangka yang terlibat bentrokan di Gedung BP Batam. ”Sampai sekarang belum ada kami terima (surat pengajuan penangguhan penahanan),” ujar Budi di Mapolresta Barelang, Kamis (21/9).

Budi menjelaskan para tersangka hingga kini masih harus menjalani proses hukum di Mapolresta Barelang. Dari pemeriksaan, mereka terbukti melakukan penganiyaan terhadap petugas dan pengerusakan.

”Proses hukum masih berjalan,” katanya.

Budi menambahkan untuk delapan tersangka yang sebelumnya mendapatkan penangguhan sampai saat ini masih menjalani persyaratan. Yakni wajib lapor seminggu 2 kali, tidak boleh keluar dari Batam, dan tidak melakukan tindak pidana lainnya.

”Persyaratannya tetap dijalankan. Kalau untuk RJ (restorative justice) itu nanti ada prosesnya dan tergantung pimpinan,” ungkapnya.

Sebelumnya, Penyidik Satuan Reserse Kriminal Polresta Barelang mengabulkan permohonan penangguhan penahanan delapan tersangka yang terlibat bentrok dengan Tim Terpadu di Pulau Rempang pada 7 September lalu.

Tim Terpadu saat itu hendak memasang patok atau mengukur lahan hutan terkait proyek Rempang Eco City.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kepri mengunjungi Polda Kepri terkait Pulau Rempang. Kapolda Kepri, Irjen Pol Tabana Bangun, menyambut hangat kunjungan tersebut.

Kapolda Kepri mengungkapkan banyak isu atau berita palsu terkait Rempang.

”Ada banyak berita palsu yang berkaitan dengan Pulau Rempang yang sedang menyebar. Namun, kami menyadari bahwa investor memainkan peran yang sangat penting dalam meningkatkan perekonomian di wilayah Kepri, dan ini akan membawa perubahan positif yang besar bagi masyarakat setempat,” ujarnya, Kamis (21/9).

Tabana mengatakan, investor tidak hanya menyumbangkan modal, tetapi juga berperan penting dalam menciptakan lapangan kerja, mengembangkan infrastruktur, dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia.

”Semua hal ini membuka peluang bagi penduduk setempat untuk terlibat dalam peningkatan ekonomi yang lebih baik,” kata dia.

Kehadiran rombongan dari MUI Kepulauan Riau ini, lanjut kapolda, memiliki potensi besar untuk memberikan kontribusi yang signifikan dalam meredakan ketegangan dan menciptakan situasi yang lebih tertib dan damai di Pulau Rempang.

”Melibatkan tokoh-tokoh agama dalam proses ini menjadi langkah kunci yang bisa membawa perubahan positif,” ujarnya.

Kerja sama ini dapat membantu memahami lebih dalam isu-isu yang menjadi pemicu ketegangan terkait dengan rencana relokasi masyarakat Rempang. Tabana mengatakan pemahaman yang lebih baik tentang masalah ini, solusi yang lebih efektif dan berkelanjutan dapat ditemukan, memungkinkan masyarakat setempat untuk hidup lebih harmonis dan damai.

”Keselamatan dan kesejahteraan masyarakat adalah tujuan bersama yang harus dikejar, dan melalui upaya bersama ini, diharapkan dapat mencapai tujuan tersebut,” terangnya.
Ketum MUI Kepri Bambang Maryono menyampaikan bahwa dalam kapasitas sebagai MUI Kepulauan Riau, pihaknya bekerja sebagai mitra pemerintah. Terutama dalam bidang tanggung jawab keagamaan terkait isu Rempang.

”Kami meminta informasi yang lebih lengkap tentang Rempang agar kami dapat menyampaikan pernyataan tertulis yang akurat dan valid,” ujarnya.
Hal ini sejalan dengan tujuan MUI untuk membantu mengatasi konflik dan masalah dengan pendekatan yang penuh kebijaksanaan dan kearifan.

“Kami adalah sebagai penasehat dan bukan sebagai pihak yang menolak atau memiliki posisi hukum tertentu. Tujuan kami adalah untuk menciptakan suasana damai dan harmonis,” papar dia.

”Kami berharap permasalahan ini tidak akan berkepanjangan dan tidak berdampak negatif pada budaya Melayu di Pulau Rempang,” tegasnya.

 

Pilih Sijantung atau Tanjungbanun

Beberapa masyarakat masih menolak untuk di relokasi. Hal itu terlihat dari surat yang dibacakan perwakilan masya-rakat Pasir Panjang, Kamis (21/9). Meskipun ada penolakan itu, Kepala BP Batam, Muhammad Rudi, mempertanyakan hal tersebut.

”Masyarakat siapa yang menolak, atas nama siapa. Yang tadi itu, yah lumrah tak semuanya mau,” kata Rudi, saat diwawancara setelah pertemuan dengan warga Pasir Panjang, Kamis (21/9).

Ia mengatakan, akan merelokasi siapa saja yang mau. Bagi yang belum mau, kata Rudi, pemerintah akan berdialog lagi dengan mereka.

Lokasi relokasi saat ini ada dua pilihan yakni Dapur 3 Sijantung atau Dapur 6 Tanjungbanun.

”Yang mana saja boleh,” ujar Rudi.

Perubahan lokasi relokasi ini dibenarkan oleh Kepala Biro Humas, Promosi dan Protokol, Ariastuty Sirait. “Tanjungbanun, Rempang. Kita tunggu yah,” kata Tuty.

Namun, lokasi tersebut belum pasti. Masih perlu dirapatkan lagi. Ia mengatakan, akan menyampaikan lagi, jika lokasi tersebut sudah dipastikan.

“Masih kemungkinan pindah ke Dapur 6, Tanjungbanun,” lanjut Tuty.
Terkait stateman dari Tomi Winata, bahwa mereka tak butuh 17.000 hektare atau satu Pulau Rempang. Tuty membenarkannya. Ia me-ngatakan, alokasi lahan untuk PT MEG hanya sekitar 7 ribuan hektare saja.

”Sisanya itu, sekitar 10 ribu hektare peruntukannya sebagai hutan buru dan hutan konservasi,” kata Tuty.

Ia menyebutkan bahwa kawasan hutan berada di Rempang bagian utara dan selatan. Sementara itu, lokasi I yang akan direlokasi seluas 2.000 hektare, adalah kawasan zona industri terintegrasi. (*)

 

Reporter : EUSEBIUS SARA / AZIS MAULANA / YOFI YUHENDRI / FISKA JUANDA
Editor : RYAN AGUNG

spot_img

Update