Sabtu, 30 November 2024
spot_img

Reaksi Apindo Batam Terhadap Permenaker Nomor 18 Tahun 2022

Berita Terkait

spot_img
Serikat buruh melakukan demo di depan gedung Graha Kepri, Rabu (16/11/2022). Aksi tersebut terkait pembahasan UMK Batam 2023. Foto: Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) telah resmi menetapkan kenaikan upah minimum (UM) tahun 2023 maksimal 10 persen. Penetapan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) Nomor 18 Tahun 2022 tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Dalam beleid itu dijelaskan, penyesuaian nilai upah minimum 2023 dihitung menggunakan formula baru. Penghitungan upah minimum dilakukan dengan mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.


Ketua Asosasi Pengusaha Indonesia (APINDO) Kota Batam, Rafki Rasyid, menilai pemerintah telah melakukan tindakan yang gegabah dan ugal-ugalan dengan menerbitkan Permenaker nomor 18 Tahun 2022 Tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023.

Baca Juga: Seribu Orang Tinggalkan Batam Dalam Sehari

Sebab, Permenaker tersebut diterbitkan pada saat penetapan upah minimum sudah mendekati tahap akhir, bahkan ada dewan pengupahan provinsi dan kabupaten/kota yang telah memutuskan nilai upah minimum sesuai dengan PP 36 tahun 2021.

“Artinya Permenaker dadakan ini mengganggu proses perundingan upah di tingkat dewan pengupahan,” ujarnya.

Selain itu, lanjutnya, pemerintah saat ini terkesan sedang menyampaikan pesan kepada para investor bahwa di Indonesia tidak ada kepastian hukum. Peraturan Pemerintah (PP) 36 Tahun 2021 yang masih berlaku, menurutnya tidak bisa dibatalkan dengan aturan selevel peraturan menteri.

Baca Juga: Terdampak Kenaikan Harga BBM, Pekerja Kantin hingga Sekuriti Dapat Bantuan Sembako

Saat ini, telah banyak perusahaan yang telah menyusun perhitungan biaya untuk tahun 2023 berdasarkan formulasi perhitungan upah pada PP 36 Tahun 2021.

“Dengan terbitnya Permenaker baru ini banyak perusahaan bertanya-tanya aturan mana yang mau dipakai?,” katanya.

Sementara PP 36 Tahun 2021 telah mengatur dengan rinci dan jelas formulasi penetapan upah minimum. Namun secara mendadak, pemerintah menerbitkan lagi aturan baru yang sama sekali berbeda dari formulasi dalam PP 36 tahun 2021 tentang Pengupahan.

Baca Juga: Malam Puncak PHRI Fest 2022, Ribuan Peserta Ikuti Night Run dan Fun Bike

“Kedua-duanya sama-sama berlaku. Tapi kalau dilihat hierarki perundang-undangannya, maka jelas Peraturan Pemerintah berada di atas Peraturan Menteri. Maka dalam hal ini, Permenaker nomor 18 tahun 2022 tersebut secara hukum tidak bisa dipakai dan secara yuridis tidak berlaku,” tegasnya.

Dalam penerbitan Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut, lanjut dia, pengusaha juga tidak diajak berunding.

Secara mendadak, pengusaha dipanggil dan disampaikan bahwa pemerintah telah menerbitkan Permenaker baru yang diberi nomor 18 tahun 2022.

Hal ini tentunya juga menyalahi ketentuan dalam penyusunan peraturan. Tidak adanya masukan dari pihak pengusaha yang akan menanggung beban dari pembayaran upah, jelas merupakan ketidakadilan.

Baca Juga: Perusahaan Galangan Kapal Batam Butuh 5 Ribu Tukang Las

“Pemerintah hanya menerbitkan aturan, pengusahalah yang akan menanggung beban dari terbitnya aturan tersebut. Tapi pengusahanya tidak diajak bicara sama sekali, tiba-tiba disodori Permenaker yang sudah jadi. Bentuk ketidakadilan ini jelas akan menimbulkan perlawanan hukum dari pengusaha,” tegasnya.

Dalam rapat yang dilangsungkan oleh Dewan Pimpinan Nasional (DPN) APINDO dan juga dihadiri oleh wakil dari Kadin Indonesia, pengusaha menyatakan akan melakukan gugatan yudisial review ke Mahkamah Agung.

Pengusaha meminta agar Mahkamah Agung (MA) menyatakan bahwa Permenaker 18 Tahun 2022 Tentang Penetapan Upah Minimum Tahun 2023 itu tidak berlaku dan tidak berkekuatan hukum. Pengusaha merasa yakin akan menang, karena Permenaker itu jelas-jelas bertentangan dengan PP 36 Tahun 2021 tentang pengupahan.

Baca Juga: Diminta Jaga Rumah, Pemuda Ini Malah Curi Uang dan Emas Teman

Menurutnya, terbitnya Permenaker tersebut juga melanggar perintah dari Mahkamah Konstitusi agar aturan turunan dari UU nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sifatnya strategis, tidak diterbitkan sampai UU tersebut direvisi.

“Tapi pemerintah nekat tetap menerbitkan aturan turunan yang menjadikan UU nomor 11 Tahun 2020 tersebut sebagai payung hukumnya. Maka pengusaha yakin MA akan mengabulkan yudisial review yang diajukan,” katanya.

Selama proses yudisial review berjalan, pengusaha juga berkomitmen akan membayar upah berdasarkan PP 36 Tahun 2021. Artinya walaupun Gubernur nantinya menetapkan Upah Minimum berdasrkan Permenaker 18 Tahun 2022, pengusaha tidak akan mematuhinya.

“Karena pengusaha meyakini bahwa PP 36 Tahun 2021 yang sah secara hukum dan akan mematuhinya. Artinya lagi, pemerintah telah membuat suasana yang tadinya adem menjadi panas, terutama di daerah,” katanya.

Dengan demikian, pemerintah seharusnya memerintahkan kepada Gubernur di seluruh Indonesia untuk tidak menjalankan Permenaker 18 Tahun 2022 tersebut. Gubernur diberikan pilihan untuk tetap menggunakan PP 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan sebagai dasar perhitungan upah minimum.

Baca Juga: Pembahasan UMP Kepri Selesai, Kota Batam Siap Bahas UMK

Karena PP ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Selain itu, pemerintah daerah akan dibuat bingung dari berlakunya dua aturan berbeda yang berlaku sekaligus. Pemerintah daerah seharusnya tetap berpegang pada aturan mana yang lebih tinggi agar tidak membingungjan.

Jika tetap memaksa untuk menggunakan Permenaker 18 Tahun 2022 yang cacat hukum tersebut, maka pengusaha di daerah akan menggugat para Gubernur ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Hasilnya sudah hampir bisa dipastikan kalau Gubernur akan kalah.

“Karena Permenaker 18 Tahun 2022 bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi dan terbitnya Permenaker tersebut melawan perintah dari MK soal larangan menerbitkan aturan turunan terkait UU Cipta Kerja. Semua berpulang pada keputusan pemerintah daerah masing-masing,” katanya.

Ia menambahkan, terbitnya Permenaker 18 Tahun 2022 ini juga telah memberikan keraguan kepada para calon investor untuk berinvetasi di Indonesia. Karena pemerintah memberikan kesan adanya ketidakpastian hukum di Indonesia.

Baca Juga: Warga Nongsa Keluhkan Truk Tanpa Penutup, Jalan Baru Jadi Kotor

Peraturan Pemerintah yang masih berlaku diubah dengan keputusan sendiri hanya dengan Peraturan Menteri. Banyak investor yang mempertanyakan hal ini dan menyatakan keraguannya pada komitmen pemerintah menegakkan aturan terkait investasi di Indonesia.

“Bukankah ini bertentangan dari keinginan pemerintah untuk mendatangkan investor sebanyak-banyaknya ke Indonesia? Pemerintah sendiri yang bisa menjawab ini. Tindakan ugal-ugalan menerbitkan Peraturan Menteri baru di penghujung tahun ini, telah sukses membuat resah pengusaha dan investor yang ada,” imbuhnya.(*)

Reporter: Eggi Idriansyah

spot_img

Update