Minggu, 24 November 2024

UU Ciptaker Disahkan, FSPMI Batam Sebut Pekerja Akan Semakin Berat Mendapatkan Kesejahteraan

Berita Terkait

spot_img
Ilustrasi. Serikat buruh melakukan demo di depan gedung Graha Kepri, Rabu (16/11), Aksi tersebut terkait pembahasan UMK Batam. F Cecep Mulyana/Batam Pos

batampos – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI baru saja menyetujui Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU). Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna yang digelar, Selasa (21/3).

Menanggapi hal ini, Serikat Federasi Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Kota Batam menyatakan, pihaknya menolak keras langkah yang dilakukan pemerintah dalam mengesahkan UU tersebut. “Tentu sangat kami sayangkan. Buruh dan pekerja menolak dengan tegas UU Cipta Kerja yang telah disahkan,” tegas Ketua PC SPL FSPMI Batam Suprapto, Selasa (21/3).


Menurutnya, dengan disahkannya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang ini tentu akan membuat perjuangan buruh, pekerja, nelayan, petani dan masyarakat kecil akan semakin susah dalam mendapatkan kesejahteraan.

“Dan ini bagi kami adalah sebuah pelanggaran norma kehidupan dalam perundang-undangan. Sebab apa, harusnya Perppu ini dikeluarkan ketika Mahkamah Konstitusi (MK) sebelum mengetok palu menyatakan UU 11 Tahun 2020 menjadi inkonstitusional bersyarat,” tambah Suprapto.

Baca Juga: UU Ciptakerja Positif, Tapi…

Jelasnya lebih lanjut, bahwa perintah MK adalah untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 bukan mengeluarkan Perppu. Tapi anehnya DPR bukannya menolak Perppu ini akan tetapi malah ikut menyetujuinya menjadi undang-undang.

“Ini dalam kutip seperti ada persengkokolan. Sementara sama-sama diketahui isi Perppu Nomor 2 tahun 2022 ini isinya tidak jauh lebih baik atau bahkan lebih buruk dari UU 11 Tahun 2020. Maka dengan itu kami menolak UU yang baru disahkan ini, ” tegasnya.

Suprapto juga menilai, dengan disahkannya UU ini semakin menegaskan sikap DPR RI yang tidak berpihak kepada kaum buruh dan masyarakat kecil. DPR seakan hanya peduli terhadap oligarki dan kaum pemodal saja. “Ini yang akan kita lakukan perlawanan dan kita tidak akan surut mengkritisi dan menolak aturan-aturan yang memang tidak berpihak kepada buruh, pekerja dan masyarakat kecil khususnya,” tutupnya.

Baca Juga: Warga Perumahan Kesulitan Dapatkan Gas 3 Kg, Rumah Makan Justru Kelebihan Stok

Ada 9 poin dalam UU Cipta Kerja yang disoroti hingga mendapat penolakan dari buruh, antara lain potensi hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, karyawan kontrak tanpa batas waktu, outsourcing, waktu kerja eksploitatif, TKA buruh kasar berpotensi masuk RI, hilangnya jaminan sosial, PHK mudah dilakukan, dan sanksi pidana hilang.

Sebelumnya, AJI Indonesia turut mengecam keputusan pemerintah yang terus mengabaikan partisipasi publik dan masukan masyarakat, termasuk komunitas pers dalam penerbitan Perppu ini. Perppu ini memiliki dampak yang besar bagi semua pekerja di Tanah Air, tidak terkecuali pekerja media.

Sejumlah pasal di klaster ketenagakerjaan di Perppu Cipta Kerja yang merugikan pekerja antara lain pasal 156 yang mengatur tentang pesangon masih dipertahankan di Perppu Cipta Kerja.

Ini artinya penghitungan pesangon tetap mengacu pada aturan turunan UU Cipta Kerja yakni Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam beberapa kasus PHK, PP ini merugikan pekerja media karena jauh lebih buruk dibandingkan UU Ketenagakerjaan.

Selanjutnya pasal 163 dan Pasal 164 UU Ketenagakerjaan dalam Perppu Cipta Kerja dihapus, sama dengan UU Cipta Kerja. Kedua pasal ini mengatur tentang hak buruh atas uang pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2). Hal ini tentu merugikan pekerja media yang di-PHK karena mengurangi besaran pesangon yang semestinya didapatkan.

Baca Juga: Polisi dan Sipir Geledah Rutan Batam, Ini yang Ditemukan

AJI Indonesia juga menemukan pasal-pasal terkait pengaturan alih daya, pekerja kontrak, pengaturan waktu kerja, dan cuti yang sama dengan UU Cipta Kerja. Praktik tentang ketentuan ini jamak ditentukan di dunia pers dan merugikan pekerja media. Sebagai contoh pekerja alih daya di televisi yang dikontrak hingga belasan tahun, dengan cara diperbaharui kontraknya setiap tahun dengan perusahaan yang berbeda.

AJI Indonesia juga menyoroti revisi Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran dalam UU Cipta Kerja yang kemudian dipindahkan ke Perppu Cipta Kerja. Salah satunya tentang ketentuan yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran. Perppu Cipta Kerja membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

“Sebab, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh, ” ujar Ketua Umum AJI Indonesia, Sasmito.

Perppu Cipta Kerja juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan. Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.

“Atas dasar ini, AJI Indonesia menuntut Presiden Joko Widodo mencabut Perppu Cipta Kerja yang bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada November tahun lalu. Apalagi pembentukan Perppu ini tidak melibatkan partisipasi publik, ” tegasnya.

Baca Juga: Curhat Pedagang dan Pembeli Barang Bekas di Batam

Diketahui, DPR RI menyetujui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang. Keputusan Perppu Cipta Kerja disetujui jadi undang-undang tersebut diambil dalam rapat paripurna DPR RI, Selasa (21/3).

Ketua DPR RI Puan Maharani menyampaikan tujuh fraksi yaitu PDIP, Golkar, Gerindra, PKB, Nasdem, PAN, dan PPP setuju Perppu Cipta Kerja untuk menjadi undang-undang. Sementara Demokrat dan PKS menolak.

Dua fraksi yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Fraksi PKS menyatakan belum menerima hasil kerja Panja dan menolak RUU tentang penetapan Perppu Cipta Kerja dilanjutkan dalam tahap pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR RI,” ujar Puan.

Sebelum pengesahan, PKS menyatakan walk out dari paripurna lantaran menolak pengesahan Perppu Cipta Kerja. (*)

 

 

Reporter: Rengga Yuliandra

spot_img

Baca Juga

Update